by: Baiq Nurya Hidayati
Sepasang mata senduku ini mulai menerawang seluruh
penjuru . Menatap barisan rumah panggung dengan ukiran-ukiran indah didindingnya.
Rumput terhampar bak permadani di istana Aladdin. Bukit-bukit nan hijau
menjulang mengelilingi tempat ku berpijak ini. Deretan pepohonan tampak anggun memesona
. Ku tengadahkan kepalaku menatap langit yang memendarkan pesona cahaya biru diselingi
awan yang berarak mengikuti hembusan nafas sang angin .Mentari pun sepertinya
tampak semangat menjalankan tugasnya siang ini. Subhanallah, Aku memekik
takjub. Apakah aku berada di negeri dongeng ? batinku bertanya-tanya.
“Terimakasih Pak,
Bapak sudah bersedia mengantar saya
sampai disini. Kalau tidak ada Bapak, saya pasti
sudah tersesat,” kataku pada kerabat bibiku yang diminta untuk menjemputku di
terminal tadi.
“Ya nak, sama-sama. Sampaikan salamku untuk
bibimu, maaf Bapak tidak bisa mampir karena ada
urusan mendadak,“ jawabnya sambil melontarkan senyum ke hadapanku.
Baru saja suara deruman motor kencang melaju,
tiba-tiba ku dengar teriakan memanggil namaku yang sontak membuatku sedikit
kaget hingga jantungku berdetak agak cepat dibanding sebelumnya.
“Yusuuuuuuuuuuuuuuuuuuff,” teriak dua sosok orang yang sebaya denganku
sambil berlari melambai-lambaikan tangannya.
“Bagaimana kabarmu kak yusuf?” tanya sepupuku
Rusmiati.
“Aku
sendang sakit Rus,” jawabku singkat.
“Alaaaaa, sakit bagaimana kau ini Suf? Nampaknya
kau sehat-sehat saja , mukamu tak pucat. Coba sini, ku periksan keningmu . Ah,
Tak demam ! Tanganmu , kakimu , telingamu , hidungmu tak ada yang terluka. Lalu
kau sakit apa sih Suf?” celetuk Murai , kakak Rusmiati.
“Ya seperti yang kalian lihat , aku mengidap
penyakit wajah tampan . Tidak menular sih , tapi tidak bisa disembuhkan, haha,”
jawabku sambil tertawa kecil.
“Kak Yusuf ini ada ada saja , membuat kami
panik saja,” sahut Rusmiati dengan nada sebal.
“Hahahahaha. Jika ada penyakit semacam itu ,
menular kepadaku pun tidak apa-apa,” canda Murai.
“Huuuuuuuuuuu
dasar kak Murai. Kalaupun ada, penyakit itu
pasti ogah menghampirimu, karena kakak
memang ditakdirkan dengan tampang
pas-pasan. Huft, sudahlah jangan becanda
terus. Ayo kak Yusuf cepatlah masuk ke rumah . Kakak harus istirahat, bukankah
perjalanan dari Lombok ke Kalimantan sangatlah melelahkan ? “ ajak Rusmiati.
“Benar Yusuf, lagipula ibuku sudah menanti-nanti kehadiranmu sejak tadi . Ayo cepat ! Akan ku bantu kau membawa barang-barangmu suf, “ kata Murai
“Benar Yusuf, lagipula ibuku sudah menanti-nanti kehadiranmu sejak tadi . Ayo cepat ! Akan ku bantu kau membawa barang-barangmu suf, “ kata Murai
Sambutan hangat kudapatkan saat ku sampai di
kampung halaman almarhum ayahku. Ayahku menghadap Illahi saat aku berusia 14
tahun. Ya tepatnya 1 tahun yang lalu. Keadaan ekonomi yang semerawut memaksa ibuku
untuk berkerja sebagai pahlawan devisa di Jazirah Arab. Beliau berangkat seminggu yang lalu dengan
sebelumnya menitip pesan pada ibunya Rusmiati
dan Murai untuk menjaga dan merawatku sembari ia berada disana. Semua kisah-kasih
di Lombok harus ku kenang dan kini aku harus mulai merajut kisah yang baru di
Kalimantan ini.
Rusmiati dan Murai sama denganku . Ayahnya
juga sudah dijemput oleh Yang Esa bahkan jauh sebelum ayahku. Sekitar 10 tahun
yang lalu, saat usia Rusmiati 4 tahun dan
Murai berusia 5 tahun. Namun mereka dikaruniai seorang ibu yang perkasa. Bibiku ini adalah sosok wanita penyayang, perhatian, kuat,
dermawan dan pekerja keras. Jadi wajar bila ibuku
mempercayakan aku padanya.
“Capek nak?” tanya bibi setelah ku cium
tangannya yang terasa agak kasar . Mungkin karena banyak berkerja hingga
tangannya tak halus lagi.
“Lumayan bi,” jawabku
sambil tersenyum manis yang semanis-manisnya dihadapan bibiku.
“Lebih baik kau istirahat dulu nak Yusuf, biar
Murai yang mengantarmu ke kamar,” kata
bibiku lembut.
“Baik bi. Oh ya bi, bapak yang mengantar ku
kemari tidak dapat mampir karena ada urusan, ia hanya titip salam untuk bibi,“ tuturku pada bibi.
“Oh ya tidak apa-apa .Beliau memang begitu ,
orangnya sibuk melulu nak,“ jawab bibi.
“Ayo
Yusuf ! “ ajak Murai.
“Mari
bi, Yusuf rehat sebentar,” kataku pada bibi.
“Iya
nak,” sahutnya lembut.
“ Hei Suf,
kamu harus tidur siang dengan pulas agar tubuhmu fit kembali. Sebab nanti sore aku dan adikku akan mengajakmu untuk
pergi ke hutan,” jelas Murai padaku.
“Sungguh? Waaaaaaah, aku pasti dapat melihat
orang utan Kalimantan secara langsung. Hmh, asyik-asyik,” jawabku riang.
“ Ya, aku tidak bercanda Suf. Jika kau ingin pergi kesana maka segeralah
kau bergegas tidur bila tak ingin tertinggal nantinya,” tegas Murai.
“Oke Boss,” sahutku singkat dengan mengangkat ibu jariku ke
hadapan Murai.
************************
Waktu yang ku tunggu-tunggu telah datang. Kini
tiba saatnya aku, Murai dan Rusmiati berangkat ke hutan dengan semangat yang
membara-bara bak kobaran api yang siap melahap apa saja di hadapannya.
Dengan
berjalan kaki, kami susuri jalan tak beraspal, melewati pasar terapung yang
nampak sepi di sore hari. Terus berjalan menyusuri jalan setapak yang sangat
asing bagiku, yang ada dibenakku hanyalah sesosok orang utan yang dirindukan
oleh tatapanku ini, sesosok orang utan yang sempat menghampiri mimpiku di siang
tadi. Oh orang utan , seperti apakah gerangan wajahmu itu ? batinku.
Beberapa saat kemudian sampailah kami di
tempat tujuan. Aku terdecak, bukan karena kagum melainkan apa yang ku lihat tak
sebanding dengan apa yang kubayangkan. Hutan yang biasanya sesak akan
pepohonan, padat akan semak belukar, berbalut lumut-lumut hutan dan rerumputan
malah justru miskin pohon, kurang rumput bahkan tanpa semak belukar. Sirna
sudah harapanku dapat berjumpa dengan orang utan, bayang-bayang penuh harap
sudah melayang membumbung tinggi ditebas pedang pencipta lara. Apa gerangan yang telah terjadi ? batinku
bertanya-tanya.
“Mir,
Rus , apakah ini hutan sungguhan?” tanyaku heran.
Namun
mereka hanya saling bertatapan tanpa sahutan tak berkata-kata.
“Apa
yang sudah terjadi?“ tanyaku lagi.
Namun
hanya dibalas bahasa tubuh dengan mengangkat kedua pundak mereka.
“Lihat
dua bapak-bapak yang tengah mengambil gambar disana. Bagaimana jika kita
tanyakan saja pada mereka?” tanya Rusmiati meminta persetujuan.
“Ide
bagus!” sahut
Murai.
“Permisi
Pak, maaf kami mengganggu bapak. Saya
Yusuf dan ini Rusmiati serta Murai sepupu saya
. Jika boleh tahu bapak-bapak ini siapa ya dan apa yang sedang anda
lakukan ?” tanyaku.
“Ya
nak, tidak apa-apa. Saya Pak Eman dan beliau adalah Pak Yayat rekan kerja saya
sebagi polisi hutan. Kami tengah mengadakan pemantauan di hutan ini, “ tutur Pak Eman.
“ Mengapa kondisi hutan ini sangat
memperihatinkan Pak?” tanya Rusmiati.
“Sepertinya telah terjadi pembalakan hutan oleh orang-orang rakus demi memuaskan ego mereka,“ jawab pak Eman.
“Sepertinya telah terjadi pembalakan hutan oleh orang-orang rakus demi memuaskan ego mereka,“ jawab pak Eman.
“Pak,
bolehkah kami ikut memantau hutan bersama Anda?” tanya Murai.
“Boleh
nak , tetapi hari semakin senja. Bagaimana jika kalian ikut memantau kondisi
hutan esok hari saja, Besok hari Minggu bukan? Jadi kalian bisa datang lagi
kemari di pagi hari,” tutur pak Eman.
“Wah , terimakasih Pak . Besok kami pasti akan datang!“ jawab Murai semangat.
“Wah , terimakasih Pak . Besok kami pasti akan datang!“ jawab Murai semangat.
Usai pamitan kami pun pulang dengan perasaan yang campur aduk seperti makanan serebuk
khas Lombok. Ibarat togenya adalah rasa kecewa, kancang panjangnya adalah haru,
parutan kelapanya adalah sedih, pakisnya adalah semangat dan daun turinya
adalah perasaan senang yang diaduk-aduk
jadi satu. Kecewa karena aku tak dapat melihat sosok orang utan, haru dan sedih
karena melihat kondisi hutan yang membuat hatiku miris, senang dan semangat
karena para polisi hutan mengijinkan kami ikut berpastisipasi dalam pemantauan
besok.
Langit kini memendar cahaya jingga disela
pesona birunya . Ku tatap wajah sang mentari yang mulai pucat, saat pesona
wajahnya tak lagi cerah dan tak lagi
bergairah . Tugasnya usai untuk hari
ini, mungkin inilah saatnya ia akan berleha-leha dalam singgasana kursi
goyangnya di jagad raya.
************************
Malam menjemput semesta , hadirkan sang
rembulan berhiaskan serbuk bintang yang bertaburan dalam gelap gumintang sang
alam.Usai makan malam, aku, Murai dan
Rusmiati berkumpul di bagian depan rumah dan berbincang-bincang mengenai
persiapan kami untuk hari esok.
“Hei Mir, apakah kau punya teropong?” tanyaku.
“Ya Suf, aku punya. Tenang saja pasti akan aku
bawa esok ! Dik, tugasmu persiapkan bekal untuk pemantauan besok. Bawalah seperlunya
ya, “ kata Murai.
“Ya
kakakku sayang,“ timpal Rusmiati.
“Jadi
persiapan untuk besok sudah komplit.
Sebaiknya kita tidur saja agar esok kita bisa bangun pagi-pagi,“ tuturku pada mereka.
“ Oke Boss,“ sahut keduanya serentak sambil mengacungkan ibu jari mereka tepat di hadapan kedua bola mataku seraya melontarkan senyum sumringah dan berakhir dengan tertawa hahahaha.
“ Oke Boss,“ sahut keduanya serentak sambil mengacungkan ibu jari mereka tepat di hadapan kedua bola mataku seraya melontarkan senyum sumringah dan berakhir dengan tertawa hahahaha.
Ku biarkan diriku tenggelam dalam sunyinya
malam, ku tarik selimut untuk mengusik dingin yang melanda tubuhku dan ku tutup
kelopak mataku dan membiarkan diriku hanyut dibuai mimpi sembari menanti sang
malam merangkak menuju sang fajar.
*************************
Sang surya melanjutkan tugasnya kembali,
pepohonan menggeliat hangat, embun mulai bersingut pergi, kabutpun berlalu
berlari. Ku sapa Rabb-ku dalam syahdu sujud sembahku. Kini aku siap merajut
kisah baru selanjutnya. Selamat pagi Kalimantan ! batinku.
Usai meminta izin pada bibi, kamipun berangkat
menuju hutan untuk melakukan pemantauan bersama pak Eman dan pak Yayat.
Sesampainya disana ternyata keduanya telah menunggu kedatangan kami. Usai
bercakap-cakap untuk saling menyapa sejenak, kamipun memulai pemantauan kondisi
hutan bersama-sama.
“Mir, Rus, mau bernyanyi bersama?” tanyaku
“Lagunya apa kak yusuf ?” tanya Rusmiati penasaran.
“Kalian dengarkan dahulu, baru kemudian
diikuti lalu dinyanyikan bersama. Bagaimana ? Siaaaaaaaaaaaaap?” tanyaku lagi.
“Siap!,”
Sahut mereka lantang.
Jalan-jalan
ke dalam hutan
Jauh-jauh
sekali
Jalan-jalan
ke dalam hutan
Jauh-jauh
sekali
Kiri-kanan
kulihat saja
banyak
pohon ditebaaang
Kiri-kanan
kulihat saja
banyak
pohon ditebaaang
(nyanyikan
seperti lagu naik-naik ke pucak gunung)
Kondisi hutan Kalimantan benar-benar membuat
miris hati siapa saja yang melihat. Sangat-sangat memperihatinkan.
Sungguh-sungguh mengharukan. Pepohonan hijau yang tersisa hanya secuil saja.
“Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgrrrrrrrrrrrrrrrrrgrrrrrrrrrrrrrrrrr,”
suara bising itu membelah semesta. Bahkan
telingaku tak kuasa mengemban tugasnya. Entah suara apa itu dan darimana
sumbernya . Mencoba mendengar dengan seksama mengikuti arah sumber bunyinya.
Makin lama suaranya semakin jelas dan semakin keras.
“Disana!”
kata pak Eman seraya menunjuk sebuah tempat.
“Gunakan
teropongmu nak dan lihat apa yang tengah terjadi disana !” tambah pak Yayat.
“Baik
Pak,” kata
Murai sigap.
“Apa
yang kau lihat?” tanyaku.
“Ada orang yang menebang pepohonan di tepi sungai hutan,” tutur Murai tergesa-gesa sambil menunjuk lokasi yang sama. Terbayang dibenaknya ketika dulu ia sering berenang disungai yang asri dengan berbagai macam vegetasi disekitarnya yang membuatnya teduh, nyaman dan jernih.
“Ada orang yang menebang pepohonan di tepi sungai hutan,” tutur Murai tergesa-gesa sambil menunjuk lokasi yang sama. Terbayang dibenaknya ketika dulu ia sering berenang disungai yang asri dengan berbagai macam vegetasi disekitarnya yang membuatnya teduh, nyaman dan jernih.
Amarah mulai menyusup ke urat nadi kami, mengalir
ke setiap hembusan nafas kami, memuncak hingga ke otak kami hingga akhirnya
memboikot jiwa kami. Kami geram bukan main. Hujatan, celaan dan kekecawaan
terlontar dari bibir kami kepada mereka yang membabat hutan hanya demi
memuaskan ego mereka semata. Hutan salah
apa hingga mereka gunduli ? Apakah hutan pernah mengusik hidupnya ? Apakah
hutan adalah monster yang siap meluluh lantahkan pemukiman mereka ? Apakah
hutan pernah mengganggu kehidupan mereka , mengambil harta kekayaan mereka,
mengambil sanak saudara mereka? Hutan salah apa? Hutan salah apa? gerutuku
dalam hati.
“Kurang
ajar, jadi ia yang telah membabat ribuan pohon di hutan ini. Ia fikir ia siapa?
Seenaknya saja menghancurkan sumber segala kehidupan di desa ini,” hujat pak Yayat.
Suasana
diselimuti amarah yang meluap-luap.
“Sudahlah pak, marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana solusi untuk mengembalikan pesona hijau di hutan ini,” kata Rusmiati mencoba membersihkan suasana dari kekeruhan akibat luapan amarah.
“Sudahlah pak, marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana solusi untuk mengembalikan pesona hijau di hutan ini,” kata Rusmiati mencoba membersihkan suasana dari kekeruhan akibat luapan amarah.
Hening
kembali menyelimuti , kening kami berkerut berfikir keras. Apa yang akan kami
lakukan ?
“Aha ! Aku punya ide!“ kataku mengusik keheningan.
“ Apa itu Suf?” tanya Murai.
“Iya kak, ide brillian seperti apa itu?” tambah Rusmiati.
“Bagaimana jika kita melakukan penyuluhan di masyarakat di kalangan tua dan muda untuk bersama-sama melakukan reboisasi?” jawabku meminta pertimbangan.
“Wah ide bagus anak muda,” timpal pak Yayat.
“Aha ! Aku punya ide!“ kataku mengusik keheningan.
“ Apa itu Suf?” tanya Murai.
“Iya kak, ide brillian seperti apa itu?” tambah Rusmiati.
“Bagaimana jika kita melakukan penyuluhan di masyarakat di kalangan tua dan muda untuk bersama-sama melakukan reboisasi?” jawabku meminta pertimbangan.
“Wah ide bagus anak muda,” timpal pak Yayat.
“Bagaimana
jika kita mulai dari sekarang saja?” kata pak Eman.
“Ya
pak , lebih cepat lebih baik bukan?” sahut Rusmiati.
Tanpa memikirkan apa-apa, kami langsung
bergegas menjalankan rencana tadi. Mulai dari pusat kerajianan masyarakat.
Bahkan meminta ahli pertanian untuk mengunjungi sekolah-sekolah di Kalimantan.
Hal ini kami jalani dengan semangat demi
mengembalikan pesona hijau sang hutan.
*************
Minggu
yang penuh petualangan telah berlalu, kini aku siap merajut kisah baru di hari
selanjutnya. Ya, senin . Sekolah baru, teman baru, guru baru dan pengalaman
baru. Usai perkenalan singkat , seorang ahli pertanian mengunjungi sekolah kami
dan mengajak kami ke kebun untuk memanen nanas. Usai memanen nanas, kami
kembali lagi ke kelas membawa hasil panen.
“Nah, anak anak dari kegiatan ini apa yang dapat kita simpulkan?” tanya Bu guru.
“Nah, anak anak dari kegiatan ini apa yang dapat kita simpulkan?” tanya Bu guru.
Sontak ku acungkan tanganku dan mulai
menuturkan jawaban dari pertanyaan guruku.
“Tumbuhan seperti pepohonan ataupun
buah-buahan sangatlah penting dalam hidup kita. Jika kita menanam, kita tentu
dapat hasilnya. Namun, keadaan vegetasi di lingkungan kita sangatlah mengkhawatirkan.
Hutan yang seharusnya diartikan sebagai titipan untuk anak cucu kita justru
diartikan sebagi warisan nenek moyang yang dapat dieksploitasi seenaknya.
Tidakkah miris hati kita melihat kondisi ini kawan?” jelasku di hadapan teman-teman dan guruku.
“Kalian kini sudah tahu arti penting tumbuhan
bagi kita. Lalu kira-kira apa yang akan kalian lakukan untuk menyelamatkan
hutan kita?” tanya guruku kembali.
“Menanami hutan kembali Bu,” jawab Murai
semangat.
“Ya benar sekali . Jadi sekarang kalian boleh
pulang untuk bersiap-siap melakukan reboisasi di hutan bersama para pelajar
dari sekolah lain dan warga desa sore
nanti,” tutur guruku.
“Asyiiiik!” sorak-sorai menyelimuti suasana di
ruang kelasku.
Sore pun
tiba. Dengan semangat , kami mulai menanam bibit pohon yang diberikan oleh
kantor pertanian. Rasa senang penuh harap singgah di hatiku. Berharap sang
hutan dapat kembali memendarkan pesona hijaunya di bawah naungan langit biru.
Usai melakukan reboisasi aku dan kawan-kawan menyempatkan
diri untuk bermain layangan di tanah lapang. Hembusan angin menerbangkan
layang-lanyang kami. Membumbung menuju langit jingga, menari-nari dalam deru
sorak-sorai kebahagian. Terus membumbung melambung tinggi membawa harapan mulia
kami. Harapan yang bermulai sejak dimulainya hari ini dan belum berakhir walau
sang mentari beranjak pergi. Harapan agar luka sang hutan dapat
terobati hingga sang hutan dapat menebar senyum kembali.