KERTAS MERAH PENUH TANDA
Karya: Baiq Nurya Hidayati
Sudah lama aku termangu
di balik jendela menatap horison yang biru dan kini akhirnya memendarkan cahya
jingga di sela pesona birunya. Mentari tampak lelah, pesona wajahnya tak lagi
cerah, mungkin inilah saatnya ia berleha-leha pada tahta istana jagad raya. Senja
menyapa langit. Hitam mulai menyelimuti. Dunia kelam, pasti kan gelap.
Dunia ini terasa
sempit, seolah-olah aku terhimpit pada sebuah sudut lorong gelap, anjing-anjing
tak henti-hentinya melolong. Kurasa mereka tengah memperolok diriku sebagai
seorang gadis tolol berusia 14 tahun.
Aku si Buta. Buta bukan
berarti aku tak melihat. Buta bukan berarti aku hanya dikelilingi desah-desah
suara dalam kelam kejamnya sang hitam. Namun, aku ini si buta, buta aksara.
“Dasar gadis bodoh, aaaaaaaaaaaaaaaaahhh,”
teriakku keras memecah jagad.
Ingin kucabik-cabik rasanya wajahku dan
membuatnya tak nampak lagi. Aku malu Tuhan. Ini salahku, aku ingin terbang tapi
tak dapat kukepakkan sayapku sekuat tenaga, aku ingin cemerlang tapi tak mampu
kudekati rembulan. Sejak kepergian orang tuaku sebab kecelakaan, maka putus
pula sekolahku. Hanya sempat menikmati kelas 1 SD selama 2 bulan bahkan kurang
karena bila datang bisikan syetan kemalasan di telingaku, maka lenyaplah diriku
dalam buaian permainan tak mau belajar. Ditambah lagi, tak ada Inaq1 yang memandikan setiap
pagi, tak ada Amaq2 yang
menghantarku ke sekolah setiap hari hingga akhirnya aku harus hidup sendiri di
sebuah pondok reot di Pantai Kuta, Lombok Tengah.
Aku ini gadis kaya.
Kaya bukan berarti aku punya banyak uang, mobil mewah, rumah gedongan dan
dayang-dayang. Namun, kaya akan cercaan, hinaan, dan makian hingga aku tak tahu
harus menyimpannya di mana. Di kepala? Penuh! Di hati? Penuh! Di telinga?
Penuh! Di perut? Kenyang sudah diriku akan sajak cerca yang mereka hantamkan
padaku dan rasanya perutku mual dan aku benar-benar ingin segera
memuntahkannya.
Siapa-siapa tak bisa membaca?
Yang tak bisa baca ada di depan saya
Siapa-siapa
tak bisa membaca? Yang tak bisa baca hanyalah si Shofia
Shofia
bodoh hey-hey Shofia bodoh hey hey
Shofia bodoh tak bisa baca tulis 2x
*nyanyikan seperti lagu Anak Kambing Saya*
Begitulah
lagu spesial yang tercipta untukku, Shofia Al-Ghumaisha. Shofia adalah nama
salah satu istri baginda Rasulullah dan Al-Gumaisha adalah sebutan untuk Ummu
Sulaim yang terkenal akan kesalihahannya, kecerdasannya,dan kejujurannya. Itu
karena Inaq1 berharap aku
dapat menjadi sosok wanita sholehah seperti mereka.
JJJJJJJ
Subuh
datang dengan iringan pasukan pengumandang adzan yang memanggil para jiwa-jiwa
yang rindu dan dirindukan Rabbnya. Setelah kusapa Tuhanku lewat sujud
panjangku, seperti biasa aku mengadu.
“Wahai dzat yang jiwaku selalu ada di
genggaman-Nya, ampunilah dosa-dosa
hambamu ini serta ampunilah dosa kedua orang tuaku yang kucintai karena-Mu.
Semoga cinta kasih mereka kau balas dengan surga firdaus-Mu yang indah. Ya
Allah, maafkan aku yang belum bisa
menunaikan titahmu “Iqro bismirobbikallazi kholaq“, hamba menyesal bila mengingat dahulu hamba sering malas sekolah. Ya
Allah, haruskah hamba terdiam dalam perbukitan sesal terus mengeluh? Maka dari
itu wahai Al-Alim mudahkanlah jalanku dalam belajar membaca agar dapat kuungkap
misteri di balik dunia, agar dapat kutembus jagad raya pengetahuan-Mu.”
Makan
sehari-hari kuperoleh dari hasil penjual barang bekas. Kusambangi satu persatu
tempat pembuangan sampah tiap-tiap rumah. Di sela-sela sampah yang bau dan
menjijikan itu kutemukan sebuah kertas berwarna merah dibingkai bunga-bunga
indah. Dengan goresan kata-kata yang tak kutahu apa bunyinya.
“Andai saja aku dapat membaca,” desahku.
Aku hanya memandangi
tulisan itu. Kubiarkan otakku beradu dengan huruf-huruf yang melayang-layang di
pikiranku. Huruf-huruf itu berputar-putar, saling menabrak, saling bertubrukan,
yang satu terkulai dan lainnya meloncat-loncat. Ah, mengapa huruf-huruf ini
malah bergulat di otakku.
Terduduk aku terus
memandangi tulisan itu. Air mataku menganak sungai hingga pipi banjir hangat
dan asin.
“Ya Allah, andai saja
aku bisa membaca,” tangisku lirih.
Kini giliran jemariku bergoyang
di hamparan pasir. Kucoba menulis mengikuti kata-kata dalam tulisan itu. Walau
susah sungguh, namun jemariku terus saja menari-nari. Setelah selesai, aku
bangkit dari dudukku menatap tulisan itu kembali. Apa gerangan bunyinya?
Lagi-lagi huruf-huruf
itu malah berdisko di otakku, menari-nari ke kanan dan ke kiri. Saling
senggol-senggolan, serong kanan, serong kiri.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAhhhh!,”
teriakku.
Aku berlari menjauh
dari tempat itu, membuang kertas tak berguna itu dari hadapanku. Berlari sejauh
mungkin, menjauh dari tulisan menyebalkan yang tak kutahu apa bunyinya.
Aku susuri Pantai Kuta
tapi tak kutemukan barang bekas yang dapat dijual, kecuali sebuah kertas merah
yang menari-nari terbawa hembusan angin.
Perlahan-lahan kubuka
kertas itu.
“Subhanallah, ini
kertas yang tadi,” mataku terbelalak.
Apa gerangan yang
membawanya kemari, akankah kertas merah ini mengikutiku, atau kebetulan terbawa
hembusan nafas sang angin. Lagi-lagi tulisan di dalamnya membuatku hatiku
bertanya-tanya. Tak kuasa kutahan rasa penasaranku dan kini kubawa kertas itu
bersamaku.
“Papuq, taom bace tulisan saq yaq?3” tanyaku pada seorang
nenek tua yang berdagang di tepi pantai.
“Endek tao mace aku jek dende, enggakn bae muk taon elek laek aran huruf
N saq yaq,”4 katanya sambil menunjuk
huruf pertama tulisan itu.
Setelah berterimakasih,
aku berlalu pergi dan di kepalaku hanya terngiang huruf N.
“ N-N-N-N-N-N-N-N-N-N, Duhai huruf N betapa indahnya kau,” bibirku
terus mengucapkannya.
Aku melangkah lagi dengan
mataku terus memandangi kertas merah berisi kata misteri yang rasanya ingin
segera kuungkap, pikiranku rasanya sudah tak mampu menampung rasa penasaranku.
Tapi mengapa hanya kata ini yang mampu membangkitkan semangatku, menghapuskan
rasa asa di dadaku, mengapa bukan tulisan-tulisan di kaleng minuman atau di
bungkus roti saja. Ah, Aku makin semangat saja.
“Tuaq..Tuaq!”5 teriakku kencang.
Yang diteriaki menoleh
heran.
“Tuaq, taom bace tulisan siaq”6 tanyaku.
“Endek tao
mace aku, enggakn muk taon aran huruf A
saq yaq,”7 katanya sambil menunjuk huruf disamping huruf N.
“N-A-N-A-N-A-N-A-N-A,
lalalalalalala” ucapku riang.
Paman tadi malah
melongo dan berlalu pergi mungkin aku dikira gila olehnya karena saking
riangnya. Dua huruf sudah, dua huruf sudah ya Allah. Kutatapi kembali kertas
merah itu lekat-lekat sembari kuhitung jumlah hurufnya.
“ 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Huruf pertama namanya huruf “N” dan
huruf kedua namanya huruf “A”. N-A. Masih ada delapan huruf lagi yang
kini jadi misteri. Tapi ada huruf yang
serupa dengan dengan si “A” di akhir tulisan ini, jadi sisanya tujuh huruf,”
tuturku.
Rasa penasaran yang
bergulat di otakku membimbing langkah kakiku kembali beradu dengan panasnya
jalan yang kususuri dan teriknya mentari di siang hari.
“Nyekem kembe iku ariq?”8 tanyaku.
“Nyekek
piak istana cinderella kadu geres pante,”9 jawabnya sambil melontar senyum manisnya di
hadapanku. Manis sekali.
“Ape iku
kakak?”10 tanyanya sembari menunjuk kertas merah dalam
genggamanku.
“Ni
engatn bae, bacen iku aneh?”11 kataku.
“Endek
man tao mace tiang kakak, wahk tesuruk ngapalan huruf A jangke Z sik guru,
laguk enggakn muk enget huruf O, D dait E saq yaq,”12 katanya sambil menunjuk
tiga huruf dari tulisan itu.
“O-D-E-O-D-E-O-D-E-O-D-E,” bibirku terus mengejanya semangat dan
anak kecil itu malah tertawa renyah-bahagia seolah-olah yang kulakukan mampu
menggelikitik pinggangnya.
Aku berlalu meninggalkannya
setelah sempat kucium pipi tembemnya yang membuatku gemas. Kembali kumengingat
huruf-huruf tadi dan mengejanya di sepanjang jalan.
“Ini N, Ini A, Ini O, Ini D, Ini E dan yang ada di akhir A.
Nah huruf setelah D yang ini, ini,
ini, ini, namanya huruf apa ya?” gumamku sendiri.
“Brakkkk.........!!!”
Suara itu membuatku terperanjat.
“Aduuuuh, daganganku jatuh semua,” ucapnya
sambil sesegera mungkin memunguti barang dagangannya.
Aku segera
menghampirinya dan membantunya memunguti barang dagangannya yang jatuh.
Ibu berkulit hitam
manis itu tersenyum padaku seraya mengucapkan terima kasih dan memberikan
sebungkus pisang goreng padaku.
“Tidak Bu!” tolakku.
“Lalu apa yang bisa
kuberi sebagai balas budiku padamu Nak?”, jawabnya.
“Sudikah ibu berbagi
sedikit ilmu? Sedikit saja bu,” pintaku.
“Ilmu?” tanyanya.
Telunjukku menari di atas
hamparan tanah. Meliuk-liuk indah bak para penari dengan gerak-gerak indah
gemulai yang terpolakan.
“Huruf seperti ular ini
namanya apa bu?” tanyaku heran.
“Yang itu namanya huruf
S Nak,” jawabnya tersenyum sumringah
bangga.
Telunjukku menari-nari
lagi.
“Lalu yang ini huruf
apa Bu?”
Ibu itu terdiam. Entah
karena tak tahu atau ia tengah berpikir. Lama sekali baru ia menjawab.
“Ibu tak pernah
sekolah. Ibu ini orang NTT yang menikah dengan orang sasak. Tetapi suami ibu juga
buta aksara, yang ibu tahu hanya huruf S
itupun ibu tahu dari seorang anak,” ujarnya.
“Terima kasih Bu, kini
dari Ibu, Shofia bisa berkenalan dengan indahnya liukan huruf S,” jawabku sambil mencium tangannya dan pamit
darinya.
Dari kata-kata ibu tadi
aku bertekad bahwa aku harus pandai membaca, aku tak ingin jadi orang biasa
yang terinjak-injak. Tak ada kata terlambat bukan? Jadi aku harus tetap
berusaha belajar
S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S-S.
Bertambah satu lagi dan huruf S jumlahnya
ada dua dalam tulisan itu jadi sedikit lagi, sedikit lagi akan aku pecahkan kata
misterinya.
“Kakaq...kaq...kakaq!”13 teriak seseorang di belakangku.
Sontak kumenoleh dan
kupandangi siapa gerangan yang tengah berlari-lari kecil sambil meneriakiku.
Mataku melihat sosok perempuan kecil yang pipinya ikut tersental-sental seiring
sentakan-sentakan kedua kaki kecilnya. Ya, sosok yang tak aneh lagi. Dia adik manis
di tepi pantai tadi. Kubuka tangan kulebar-lebar dan sontak ia melemparkan
tubuhnya ke dalam pelukanku.
“Hah-hah-hah,” nafasnya
tersenggal-senggal.
“Araq napi solah?”14 tanyaku.
“Muk ingetn Kakaq,”15 sahutnya.
“Napi Ariq?”16 timpalku lagi.
“Mbe kertas beaq iku Kakaq?”17 matanya mencari-cari.
Kusodorkan kertas itu
padanya.
“Sereok yaq, saq yaq aran huruf I
saq yaq aran huruf T,”18 lontarnya.
Aku memeluknya erat.
Dia adalah sosok guru termuda yang kutemui, sosok yang telah mengajarkan huruf O, D, E, I, dan T. Setelah itu ia mencium pipiku dan berlalu pergi dengan wajah
ceria.
Kumantapkan langkahku
seiring mentari yang merangkak ke peraduannya. Kusandarkan tubuhku di tembok
pagar Novotel Kuta. Perjalananku hari ini sungguh melelahkan sedangakan pondokku
cukup jauh. Kuputuskan untuk beristirahat dan menatap kembali kertas merah itu.
“N-A-O-D-E-S-I-S-T-A,” ku mengeja satu per satu huruf tulisan itu.
“Ya Allah, aku tak bisa
melafalkan bunyinya,” aku menangis dan rasa kantuk serta capai pun menjeput tubuhku,
kurebahkan badanku dan kututup mataku walau masih sembap sebab kucuran air
mata.
JJJJJJJ
Aku terbangun. Mataku
mencari-cari setiap sudut ruangan.
“Foi-se doce menina?” 19
Mataku melihat sosok
wanita asing berbicara dalam bahasa yang tak kukenal, telingaku agak risih
mendengarnya. Wajah luguku menatap heran. Wanita itu tak sendiri, ia bersama
seorang laki-laki yang berkata padaku bahwa wanita itu adalah tourist dari
Portugal bernama Catalina seorang pengusaha kaya yang sedang berlibur di Lombok
dan laki-laki itu adalah guidenya,
Pak Lalu Idham. Pak Idham memintaku memperkenalkan diriku dan menceritakan
mengapa aku bisa sampai tertidur di depan Novotel. Tanpa kututupi sedikitpun,
kuceritakan kisahku hari ini, kuberitahu ia namaku dan tentang orang tuaku.
Setelah itu Pak Idham menerjemahkan ceritaku pada Catalina, ia berbicara padaku
yang hanya kubalas dengan tatapan heran.
“Shofia, ia ingin
mengasuhmu menjadi anak angkatnya. Suami dan putrinya seusiamu telah meninggal.
Shofia di sini hidup sendiri bukan? Jadi bila Shofia tinggal bersamanya di
Portugal, Shofia tidak kesepian lagi. Mau ya?” Terjemah Pak Idham.
Dilema melanda. Lama
aku berpikir, haruskah aku meninggalkan desaku, tempat aku dihalirkan dan
menyimpan bermiliaran kenangan bersama Inaq1
dan Amaq2ku.
“Baik Pak,
Shofia mau. Tapi ada syaratnya,” jawabku.
“Apa itu Nak?”
“Berbagilah sedikit
ilmu padaku.”
“Caranya?”
Kukeluarkan kertas
merah itu dari tas plastikku.
“Beritahu aku apa
bunyinya, karena tulisan dalam kertas inilah yang membuatku sampai di sini. Aku
tak dapat membacanya. Aku tak mau terpuruk dalam kebodohan karena tak dapat
membaca,” ungkapku.
“NAO DESISTA,” tukas Catalina.
“NAO DESISTA?” tanyaku.
“Ini bahasa Portugis
yang artinya JANGAN MENYERAH,” tutur Pak Idham.
JJJJJJJJJJJ
Di Portugal mae20 mengajariku hingga
pandai membaca, aku didiknya menjadi pribadi yang anggun dan cerdas. Ia bahkan
menetapkanku sebagai ahli warisnya, hingga ketika usiaku 24 tahun, beliau
meninggal karena kecelakaan pesawat. Sempat aku dirundung pilu berhari-hari.
Aku seperti tersesat di muara puing-puing perih. Namun, amanah untuk mengelola
perusahan bisnis pariwisata mae20
yang ada di kawasan Pantai Kuta memaksaku kembali ke tanah kelahiran yang kurindukan
karena Allah, hal itu membuatku semangat bahwa aku tak boleh mengecewakannya. Petuah
mae20 selalu kuingat bahwa
Kita
tak kan pernah mampu menembus samudera tanpa membaca,.
Kita
tak kan mampu menembus cakrawala tanpa membaca.
Kita
tak kan mampu memahami kebesaran Allah tanpa membaca.
Maka
jangan biarkan diri kita buta tak bisa membaca.
Sebab
setiap aksara pasti bermakna.
Karena bila kita buta akan aksara
maka kita pun buta akan segalanya.
Nao Desista, Jangan Menyerah
dalam menuntut ilmu Allah.
TERJEMAHAN
1. Ibu
2. Ayah
3. Nenek,
bisakah kau membaca tulisan ini?
4. Saya
tidak bisa membaca gadis cantik, yang saya tahu hanya huruf N saja dari dulu.
5. Paman..Paman
!
6. Paman,
bisakah kau membaca tulisan ini?
7. Saya
tidak bisa membaca, yang saya tahu hanya huruf A
8. Sedang
apa kau adik kecil?
9. Sedang
membuat istana Cinderella dari pasir pantai.
10. Apa
itu kak?
11. Nih,
lihat saja, coba dibaca?
12. Saya
belum bisa membaca kakak, saya sudah diminta menghafal huruf abjad A hingga Z
oleh guru saya, tapi yang saya ingat hanya huruf O,D, dan E.
13. kak,
kak, kakak
14. Ada
apa cantik?
15. Aku
ingat kak!
16. Apa
dik?
17. Mana
kertas merah itu kak?
18. Lihatlah
ini, yang ini namanya huruf I dan
yang ini namnya huruf T.
19. Sudah
bangun gadis manis?
20. Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar