KISAH AISYAH
KARYA : BAIQ NURYA HIDAYATI
Aisyah janda beranak enam itu ditinggal suaminya
enam bulan yang lalu menghadap illahi. Suaminya meninggal setelah Aisyah
berjuang mati-matian demi kelahiran putra bungsunya dan sejak itulah dia harus
menjadi single parents bagi anak-anaknya. Robiah, Siti, Soleha, Hanafi, Arman
dan Hafizi, itulah nama putra dan putri Aisyah.
Disebuah rumah petak sederhana,
berpagar bambu, beratapkan jerami dan berlantai tanah. Disanalah mereka tinggal
menjalani hidup yang penuh suka dan duka. Mengingat tugasnya yang merangkap
sebagai ayah, Aisyah kadang kebingungan, bagaimana ia harus mencari nafkah,
pekerjaan terasa sulit di dapat, kehidupan kota
sangatlah kejam. Haruskah ia hanya terdiam dan pasrah pada kehendak
tuhan ?
Ditatapnya wajah Hafizi, putra
bungsunya yang masih bayi, seketika itu terlintas dibenaknya pesan terakhir
suaminya. “ Istriku,tibalah mungkin akan tercabut nyawaku, setelah sakit yang
ku derita ini sudah tak ku tahan lagi, jagalah anak-anak kita dan bila engkau
benar-benar dalam kesusahan, berdoalah pada-Nya semoga Allah mengabulkan
pintamu, jangan berputus asa dan berprasangka baiklah selalu pada-Nya .” Sejak itu Aisyah bertekad akan selalu
membahagiakan keenam anaknya.
Ummi, begitulah Aisyah dipanggil
putra-putrinya. Diperdalam keimanan dan ketaqwaannya dengan mengerjakan
amal-amal shaleh, hal-hal baik itu pun ditanamkan pada putra-putrinya dalam
kehidupannya sehari-hari. Setiap usai sholat mereka senantiasa mendoakan ayah mereka yang telah tiada, diangkat kedua tangan
mereka, kepala menengadah ke atas, berharap dalam hati semua pinta mereka akan
terkabul.
Malam itu Robiah, Siti, Soleha, Hanafi dan Arman
lelap dibuai mimpi, sedangkan ibunda mereka masih menggendong Hafizi yang tak
henti-hentinya menangis. Suara tangis Hafizi membuat Robiah putri sulungnya
terbangun. “ Ummi mengapa belum tidur, Hafizi rewel ya ummi ?” tanya Robiah. “
Ya biah, adekmu belum bisa tidur dari tadi dia hanya menangis ,“ jawab Aisyah.
“ Biarlah Hafizi Robiah yang menggendong, ummi istirahat saja .“ “Tapi ?” sergah
Aisyah, “ Tak apa ummi ,“ sahut Robiah.
Aisyah akhirnya terlelap, tidurnya
dihiasi mimpi-mimpi indah. Robiah memandang wajah umminya yang sedang tertidur,
tampak lelah dan lemah. Tak lama kemudian Hafizi terlelap dalam gendongan
Robiah, ditidurkannya Hafizi disamping umminya oleh Robiah. Merekapun tertidur
diselimuti mimpi yang melukiskan tentang hari esok.
Fajar menyingsing menyudahi mimpi
indah mereka. Pagi-pagi sekali Aisyah sudah bersiap-siap ke kota mencari
pekerjaan. Arman, putranya yang berusia 6 tahun merengek minta ikut. “ Ummi aku
ingin ikut ?” pinta Arman. “Jangan, ummi ke sana berjalan kaki, kota sangat
jauh, “ kata Aisyah. Namun Arman tak hendak diam, terpaksa Aisyah mengajaknya
daripada perjalanan tak nyaman.
Perjalanan ke kota memang cukup
jauh, mereka harus berjalan kaki hingga 8 km. Sampainya di sana Aisyah langsung
mencari pekerjaan dari satu toko, satu rumah bahkan satu kantor. Tidak ada yang
menerima Aisyah untuk bekerja malah ia harus menerima cercaan dan makian karena
penampilannya yang kumal seperti gelandangan. Sampai akhirnya ia menemukan
seorang laki-laki yang butuh pekerja sebagai kuli panggul, untuk mengangkat
beberapa karung beras.
Tanpa pikir panjang, Aisyah menerima
tawaran itu. “ Arman tunggulah ummi disini dan jangan kemana-mana ! “ perintah
Aisyah. Arman hanya mengangguk sambil memainkan sebuah gangsing dari kayu. Satu
per satu karung beras 50 kg dipanggulnya, dalam keadaan seperti ini rasanya
beban 1 ton pun sanggup diangkatnya. Penat sekali seluruh badannya, meskipun
hanya dibayar dengan sekantong beras saja hatinya puas.
Namun ditengah rasa bahagianya itu di kejauhan
terdengar suara “Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt...........Braaaaak……aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh
ummmmiiii “, suara melengking Arman dihafalnya. Arman tertabrak sebuah
truck yang melaju kencang ketika Arman
hendak mengambil gangsingnya yang jatuh ke jalan. Sopir truck malah kabur dan
tak mau bertanggung jawab. Aisyah langsung berlari, dilihatnya tubuh Arman
bermandikan darah, tulang-tulang kaki dan tangannya patah, jantungnya tak
berdetak lagi. Semua orang disana panik, tergugah hati mereka untuk menolong,
beberapa dari mereka menghubungi polisi
dan rumah sakit untuk mendatangkan sebuah ambulance.
Tubuh Aisyah gemetar dan lemas, mata indahnya
meneteskan air mata. Dirangkulnya tubuh Arman, ada rasa sesal menyerbu
benaknya. Ia merasa telah bersalah meninggalkan Arman. “ Oh anakku, mengapa
seperti ini ? Begitu cepat kau meninggalkan ibu nak. Mengapa putra yang kucinta
harus meninggalkanku dengan begitu tiba-tiba. Oh buah hatiku, maafkan ummimu
ini, jika tak ku turuti kemauanmu tadi mungkin ini semua tidak akan terjadi.”
Aisyah menangis , air matanya yang seperti bola permata itu tak henti-hentinya
mengalir.
Polisi datang di tempat kejadian dan segera
memeriksa kasus kecelakaan yang menimpa Arman. Tak beberapa lama mobil
ambulance pun tiba dan membawa mereka ke rumah sakit untuk menjalani
pemeriksaan terhadap jasad Arman. Setelah proses-proses itu berlangsung, Aisyah
bersama jasad putranya diantar pulang, namun hanya sampai di tepi kota karena
ambulance tidak dapat masuk ke desa tempat tinggal Aisyah. “ Maafkan kami bu,
sepertinya mobil ini tidak cukup masuk ke jalan setapak yang kecil ini, mungkin
kita dapat menggotong jasad Arman bersama-sama,” kata petugas rumah sakit. “
Tidak apa pak, biar Arman saya gendong sendiri saja, bapak sudah cukup banyak
membantu kami,” jawab Aisyah. “Tapi ?” sergah petugas, “Tak apa pak, lagi pula
saya sanggup dan mampu,” lanjut Aisyah yang bersikeras membawa Arman pulang ke
rumah sendirian. Dengan berat hati merekapun pergi meninggalkan Aisyah dan
Arman.
Jasad Arman digendongnya menuju rumahnya yang
cukup jauh dari sana. Tetes-tetes darah membentuk jejak-jejak bulat kecil
disepanjang jalan setapak. Aisyah terus berjalan menerobos dinding-dinding
penghalang didepannnya. Putra-putrinya yang lain masih menunggunya di rumah.
Setelah jauh berjalan dan hampir sampai , Aisyah mulai lemah, sedangkan dari
kejauhan putra-putri Aisyah melihat umminya menggendong seorang anak. “
Ummi………..” teriak mereka. Betapa terkejutnya mereka setelah tahu bahwa anak
dalam gendongan umminya adalah mayat saudara laki-laki mereka. Aisyah
tersungkur, tubuhnya lemas tak berdaya, ia berusaha berjalan dengan langkah
terseok-seok. Robiah dan adik-adiknya berlari menghampiri ummi dan saudaranya.
Mereka menangis menatap saudaranya dalam kondisi
yang sungguh menyedihkan, silih berganti mereka memeluk jasad Arman sambil
menangis tersedu-sedu. Sesuai dengan syarat dalam hukum islam, mereka
memandikan jasad Arman dan mereka lapisi dengan sepotong kain putih kemudian
mereka kuburkan samping rumah mereka. Doa-doa mereka panjatkan, rasa sesal
Aisyah tak henti-hentinya menghantui pikirannya. Aisyah termangu, dalam
pikirannya terbayang andai suaminya masih hidup ia pasti akan kecewa. Tuhan
telah mengambil salah satu permata hatinya. Kini masih tersisa lima anaknya
yang menjadi amanat ditangannya.
Lambat laun, luka batin keluarga Aisyah dapat
terobati sedikit demi sedikit. Rasa cinta dan kasih mereka satu sama lain tak
sebanding dengan besarnya dunia ini. Mereka bagaikan satu tubuh, satu jiwa,
satu raga yang seia sekata. Tidak akan mereka biarkan salah satu anggota tubuh
mereka terasa sakit, maka akan segera
mereka obati. Hampir setiap hari mereka mengunjungi makam ayah dan saudara
mereka. Makamnya dibersihkan dari segala macam kotoran dan mereka hiasi dengan
doa, memuja dan memuji kebesaran tuhan yang kuasa.
Berbekal keberanian dan harapan, Aisyah kembali
mencari pekerjaan ke kota. Pertama ia menuju sebuah warung nasi dan melamar
pekerjaan di sana, seperti biasa hasilnya ditolak. Aisyah masih terus berjalan,
walau telapak kakinya terasa panas tanpa alas.Dalam perjalanannya, ia melihat
sebuah selogan yang tertempel pada sebuah dinding di halte bus, isinya tentang
lowongan pekerjaan disebuah restoran. Sesampainya di depan restoran, Aisyah
menghentikan langkahnya. Langkah kakinya ingin berjalan masuk tetapi ia takut
akan ditolak lagi. “Bismilahhirrahmanirrahim,” katanya dalam hati. Kaki
kanannya melangkah terlebih dahulu menuju sebuah ruangan yang ditunjukkan oleh
salah seorang pelayan disana.
Tok.Tok.Tok, suara pintu diketok Aisyah seraya
mengucapkan “Assalamualaykum.”
“ Waalaykum salam, mari silahkan masuk,” sahut seorang wanita anggun yang paruh
baya. Terjadi percakapan yang panjang antara si wanita dengan Aisyah. “ Maaf
sebelumnya sudah mengganggu, saya Aisyah dari desa dan saya kesini hanya ingin
mencari pekerjaan yang setahu saya ibu sedang butuh karyawan lagi. Apakah boleh
saya bekerja disini ?” kata Aisyah. “
Perkenalkan pula saya Resti pemilik restoran ini, memang kami sedang
butuh karyawan yang berbakat dalam hal masak-memasak. Apakah kamu memiliki
bakat ini ?” “ Tentu bu, saya bisa memasak, bila ibu mau saya bisa memasakkan
sebuah makanan untuk dicoba,” kata Aisyah meyakinkan. “ Baiklah kalau begitu
mari ikut saya ke dapur, kamu bisa mencobanya disana.”
Aisyah kebingungan melihat sayur-mayur dan
daging yang disediakan didepannya. Aisyah teringat makanan favorit keluarganya.
Pertama ia meracik bumbu kemudian dicampurkannya dengan bahan pokok makanan
itu.
“ Bu silahkan, ini masakan yang saya masak tadi,
“ kata Aisyah. Bu Resti kemudian mencicipi masakan Aisyah.
“ Woww fantastic, makanan ini terasa nikmat
sekali. Apa nama masakan ini?” tanya bu Resti.
“ Ini
adalah sup daging kesukaan almarhum suami dan anak-anak saya. Jadi bagaimana bu,
bolehkah saya berkerja disini?” kata Aisyah.
“Tentu, mana mungkin saya menolak koki yang
berbakat sepertimu, mulai sekarang kamu bisa bekerja disini sebagai juru
masak.”
“Benarkah?” tanya Aisyah tak percaya. Bu Resti
hanya mengangguk dan Aisyah mengucapkan rasa terima kasihnya dan berjanji akan
berkerja dengan baik.
Setelah bekerja sekitar pukul lima sore Aisyah
diizinkan pulang karena masih memiliki anak yang harus dia urus. Bosnya menitipkan
makanan untuk putra dan putri Aisyah, bahkan ia menyuruh sopir pribadinya untuk
mengantarnya. Bu Resti memang sangat baik ia berbudi pekerti luhur dan tutur
katanya sopan dan halus. Namun sayang dibalik hidupannya yang serba mewah itu
ia merasa tak punya teman hidup, karena suaminya telah meninggal dan anak
semata wayangnya tinggal diluar negeri bersama istrinya seolah-olah tidak
menghiraukan keadaan ibundanya.
Sesampainya di rumah.
“Bagaimana Ummi, apakah ada pekerjaan dan
darimana makanan-makanan enak ini ?” tanya Robiah. Aisyah hanya diam, mimiknya
tidak meyakinkan.
“Mengapa ummi hanya diam, memangnya ditolak lagi
?” tanya Siti.
“Ummi…….. ummi…. emmmmm,” kata Aisyah memancing
rasa penasaran anak-anaknya.
“Ayolah ummi jangan buat kami penasaran, “ kata
Soleha dan Hanafi serentak. “ Maksud
ummi, ummi tidak.”
“Tidak
apa ?, pasti ditolak lagi, orang kaya kan memang sombong mana mungkin mereka
mau menerima kita.” Ujar Siti kesal.
“Maksud Ummi, Ummi tidak ditolak untuk jadi juru
masak di sebuah restoran,” kata Aisyah.
“ Sungguh Ummi ? “ tanya Hanafi tak percaya.
“
Menurutmu apakah Ummi berbohong ?” kata Aisyah sambil mengelus-ngelus rambut
putranya.
“Alhamdulillah,” jawab mereka serentak.
Aisyah melihat Soleha diam-diam berbisik pada
Hanafi.
“
Bukankah kita ingin sekolah, bagaimana jika kita bilang saja pada Ummi ?” kata
Soleha.
“Tidak aku tidak berani, kamu saja yang bilang
pada Ummi.” Sahut Hanafi keras.
“ Ssssssstttt, suara kamu keras sekali,” kata
Soleha sambil menepuk bahu Hanafi.
“Ayo kalian berdua, kenapa berbisik-bisik?”
tanya Aisyah.
“U-u-u-uu-uu-umm-mi, bolehkah kami bersekolah
lagi?” tanya Soleha gugup.
“ Ya ummi, kami ingin sekolah,” tambah Hanafi.
“Ooooo, kenapa harus bisik-bisik tetangga?, “
kata Robiah meledek sambil tertawa kecil. “ Kalian tidak usah hawatir, besok
pagi kalian boleh bersekolah lagi seperti dulu, biar nanti gaji pertama ummi
akan kita gunakan untuk membayar uang sekolahmu,” kata Aisyah.
“Benarkah
ummi? “ tanya mereka.
Aisyah
hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“ Yeeeeeeeeeee, horeeeeee,” teriak mereka
kegirangan.
“Nah ummi, bagaimana jika Robiah dan Siti pergi
mencari kayu bakar dan akan kami jual di pasar desa seberang, “ kata Robiah
menyarankan.
“Betul itu itu ummi, dari pada menganggur, kan
lumayan buat nambah penghasilan kita sehari-hari, “ ujar Siti menambahkan.
“ Hem
betul – betul – betul ! “ kata Aisyah.
“ Ha ha ha ha ummi lucu deh, “ kata mereka sambil tertawa terbahak-bahak.
“ Tapi ingat kalian harus hati – hati, “ kata
Aisyah.
“ Siiip Boss, “ sahut Siti dalam sikap hormat.
Malam makin mencekam, gonggongan merdu anjing
terdengar. Tibalah saatnya harus merebahkan tubuh mereka. Mimpi – mimpi manis
pun hampir disetiap tidurnya.
************************
Pagi kembali menjemput, suara kokok ayam hutan
bak alarm yang disetel untuk membangunkan mereka. Setelah sholat subuh, mandi
dan sarapan, Aisyah berangkat berkerja, Soleha dan Hanafi pergi sekolah dan
Robiah yang menggendong Hafizi bersama Siti pergi menjual kayu bakar di pasar.
Itulah kegiatan sehari-hari yang dilakukan mereka.
***************************
Tidak terasa tahun terus berganti, kehidupan
keluaraga mereka makin hari makin tercukupi dan putra-putri Aisyah makin dewasa . Robiah
tumbuh menjadi gadis pintar dan sholeh, ia mewarisi sifat Umminya yang tidak
pernah putus asa. Siti tumbuh sebagai gadis yang cantik dan cukup manja.
Demikian pula Soleha dan Hanafi mereka mahasiswa yang pintar bahkan bertekad untuk bisa
bersekolah sampai luar negeri dan Hafizi kini menjadi. Pemuda tampan yang duduk
di bangku SMA.
Aisyah menerima kabar dari seorang pelayan, agar
Aisyah hari itu tidak berkerja namun segera ke rumah Bu Resti karena beliau
sedang sakit. Aisyah segera menuju ke rumah Bu Resti. Ia melihat orang yang
telah berjasa kepadanya tengah sakit diatas tempat tidur.
“Kemarilah nak, kemarilah,” pintanya. Aisyah tak
kuasa menahan haru, sempat ia meneteskan air mata namun segera dihapusnya
karena takut bu Resti tahu.
“Ibu sakit apa? “ Tanya Aisyah.
“ Kata dokter aku menderita tumor ganas dan
diprediksikan usiaku sudah tidak lama lagi lagipula aku sudah bau tanah entah
apa yang akan terjadi satu detik lagi mungkin itulah saatnya aku dipanggil yang
kuasa jadi aku mohon satu hal darimu.”
“Apa itu Bu? Apapun yang Ibu inginkan pasti akan
aku lakukan karena Ibu sudah seperti malaikat dalam hidup saya, “ kata Aisyah.
“ Satu hal ,” kata bu Resti. Tangannya makin
kuat menggenggam tangan Aisyah makin lama makin terasa dingin.
“ Katakanlah Bu, apa itu?” tanya Aisyah.
“Aku ingin kamu mengelola restoran milikku dan
rumah beserta isinya kuberikan untukmu. Kelolalah
dengan baik karena kamulah orang yang pantas menerima ini semua ,” jawab bu
Resti. Tangan yang semula erat memegang Aisyah tiba-tiba terlepas dan bu Resti
tak sadarkan diri.
“Toloooooooooooooooong,” teriak Aisyah. Semua
pembantu datang dan segera membawa Bu Resti ke rumah sakit. Nyawanya tak
tertolong lagi, Aisyah merasa sedih kini dia memegang amanat yang sangat besar.
Aisyah sebenarnya sangat berat dengan amanat
itu, bila bu Resti tidak meninggal begitu cepat dia tidak akan
menerimanya.Bahkan ia tak sanggup meninggalkan rumah dengan sejuta
kenangan. Namun nasi telah menjadi bubur
Aisyah sudah terlanjur berjanji . Hal itu belum diberitahukan pada
anak-anaknya, ia hanya memberitahukan bahwa seminggu lagi mereka akan segera
pindah ke kota karena tugas yang diberikan oleh Bu Resti.
“Di kota kita akan tinggal bersama siapa ummi ?”
tanya Soleha. Aisyah hanya diam tak
menjawab.
“Bagus dong jika kita tinggal di kota, apa lagi
yang menyuruh Bu Resti pasti kita disediakan tempat yang bagus,” kata Siti.
“Tapi Ummi, bagaimana dengan rumah kita ini,
apakah harus kita tinggalkan begitu saja ?” kata Robiah dengan nada sedih.
“ Ya gak apa lah kak, rumah sekumal ini sudah
gak layak ditempati lagi, secara di era global ini cuman kita yang punya rumah
petak dekil ini,” kata Hafizi.
“ Hafizi, jangan berkata seperti itu, lihat Ummi
jadi sedih kan,” kata Hanafi.
***************
Seminggu berlalu, Aisyah merasa sangat berhutang
pada Bu Resti. Terpaksa dia memutuskan untuk pindah ke kota menjalani hidup
yang serba mewah. Setelah beres-beres mereka berkumpul didepan rumah,
mengunjungi makam ayah dan saudara mereka.
“Ayah dan
Arman tak usah khawatir walaupun kami tinggal jauh dari sini, kami janji akan
rajin menengok Ayah dan Arman,” Ujar Soleha. Mereka pun pergi meninggalkan
sejuta kenangan indah, rumah petak sederhana yang mereka anggap lebih dari
sekedar istana mewah dengan beribu kisah kasih mesra yang sudah mereka jalani.
Sesampainya disana.
“Woooowww,,
inikah istana di dunia dongeng Putri Nirmala ?” kata Siti.
“ Ummi apakah kita akan tinggal disini ?” Tanya
Hanafi. Namun Aisyah tidak menjawab, mereka kemudian masuk dan kedatangannya
disambut baik oleh para pembantu yang berkerja disana.
“ Bahkan ada dayang-dayang istana disini, “ ujar
Siti dan Hafizi. Mereka pun duduk di serambi depan, Aisyah ingin menjelaskan
hal yang terjadi sesungguhya.
“Anak-anakku, rumah ini adalah pemberian Bu
Resti kepada kita, sebenarnya Ummi berat menerimanya karena ummi tak sanggup
meninggalkan kenangan indah kita di desa dulu namun Ummi sudah terlanjur
bersedia saat beliau menghembuskan nafas terakhinya, beliau juga berpesan agar
kita menjaga semua yang diberikan dengan baik,” cerita Aisyah. “ Sungguh bu
Resti memang sangat baik, semoga amal dan ibadahnya diterima yang kuasa,” kata
Robiah.
“Bu Resti juga menitipkan restorannya kepada Ummi
untuk dikelola,” lanjut Aisyah. “Alhamdulillah Allah memang maha adil, doa –
doa kita selama ini akhirnya terkabul,” kata Hanafi.
“ Yeahhhh
akhirnya kita jadi orang kaya kak Siti,” kata Hafizi pada kakaknya.
“ Ha ha iya iya milyader mendadak kita dek,” sahut Siti.
“Bahagia sih boleh bahagia, tapi kalian harus
bersyukur pada Allah dan membalas jasa Bu Resti dengan senantiasa mendoakannya
dan ingat kita tidak boleh sombong, “ Robiah menasehatkan.
**************
Hari – hari sebagai konglomerat memang
menyenangkan, namun belakangan ini sifat Siti dan Hafizi makin tidak karuan,
sifat egois mereka makin menjadi - jadi. Hanafi dan Soleha mendapat beasiswa
untuk meneruskan kuliah di Korea. Robiah dan Siti berkerja di restoran Umminya
yang kini berkembang pesat dan memiliki beberapa cabang di beberapa daerah di propinsi
NTB.
Hampir setiap hari Hafizi membuat onar di
sekolahnya, hal ini membuat ia dicap sebagai cowok brandalan. Betapa kecewanya Aisyah dengan sikap Hafizi itu,
dinasehatkan oleh Ummi dan kakaknya hingga berulang – ulang kali namun tak dihiraukannya.
Demikian pula Siti bila sudah selesai berkerja dia langsung pergi bernostalgia
bersama kawan atau kekasihnya sampai larut malam. Entah apa lagi yang harus
dilakukan Aisyah, bila harus dengan perlakuan keras Aisyah tidak tega.
Siti pun makin durhaka pada Umminya, setelah
Aisyah memutuskan Robiah sebagai direktur restoran karena usianya yang semakin
tua dan sering sakit – sakitan. Siti merasa diperlakukan tidak adil, ia merasa
dialah yang pantas. Namun Aisyah memutuskan itu berdasarkan hal –hal yang
pantas untuk dijadikan sebagai perbandingan antara mereka berdua. Siti merasa
jengkel dan memutuskan minggat dari rumah, hal ini membuat pikiran Aisyah
terbebani hingga ia jatuh sakit.
Robiah
datang menemui Umminya yang sedang beristirahat dikamarnya.
“ Ummi
maaf mengganggu, tadi Pak Anto menelpon, beliau bilang restoran di Mataram
sedang di demo warga karena banyak warga yang keracunan setelah makan malam
disana,” kata Robiah.
“Astagfirullah, bagaimana mungkin Biah?” Aisyah
terkejut dengan berita itu.
“Entahlah Ummi, tapi Robiah minta izin pada Ummi
besok pagi Robiah akan berangkat kesana untuk menyelesaikan masalah ini , tapi
Biah khawatir bila meninggalkan Ummi sendiri apalagi kini Ummi sedang sakit, ”
kata Robiah.
“Pergilah nak, Ummi tak apa bila ditinggal
disini, lagi pula ada mbok Wati yang menemani ummi disini, “ kata Aisyah.
**************
Setelah beberapa hari di Mataram dan hendak
pulang, Robiah menerima kabar mengejutkan dari mbok Wati.
“ Non
tadi Ummi, tadi Ummi tadi…….,” kata mbok Wati terbata-bata.
“Ummi kenapa mbok ? “ tanya Robiah.
“ Tadi nyonya tiba – tiba pingsan dan tak
sadarkan diri, mbok sudah mencoba menghubungi den Hafizi dan Siti namun
nomernya tidak aktif,” kata mbok Wati.
“ Sekarang Ummi dimana dan keadaannya bagaimana
mbok ?” tanya Robiah khawatir.
“ Kini nyoya ada di rumah sakit dan keadaannya
makin membaik non, “ jawab mbok Wati.
“ Baiklah sampaikan salamku pada Ummi, sejam
lagi aku akan sampai, “ pesan Robiah.
Robiah sampai dirumah sakit, dan mengunjungi
umminya.
“ Bagaimana nak, sudah beres ? “ tanya Umminya.
“Ya
Ummi semuanya beres dan tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, “: jawab
Aisyah.
“ Mana Hafizi dan Siti ? “ kata Aisyah melihat
kiri dan kanan.
“
Sebentar ummi, mereka sedang di perjalanan sebaiknya ummi istirahat saja,” jawab Robiah.
Robiah menelpon Soleha dan Hanafi dan
mengabarkan keadaan Umminya. “ Ummi sakit dek, jika bisa pulanglah dulu Ummi
butuh dukungan kita disini,” kata Aisyah.
“ Baik
kak, kami akan segera pulang tetapi mungkin lusa atau besok,” jawab mereka. “Ya
tak apa, asalkan kalian berhati –hati dan selamat di perjalanan, “ pesan Robiah.
Setelah itu Robiah berusaha menghubungi Siti,
namun tak diangkat. Robiah kemudian menelpon teman Siti.
“ Assalamualaykum, Siti ada disana Siska? “
tanya Robiah. Setelah mendengar jawaban Siska dari telepon, Robiah terkejut bukan main.
“ Ada apa Robiah ?” tanya Aisyah.
“
Ummi Siti ummi
siti,, !” kata Aisyah gugup.
“ Ada apa
dengan Siti ?” tanya Aisyah.
“ Siti….. Siti…. Siti hamil ummi ! “ jawab
Aisyah.
“Nooonnnnnn,,,,, ! “ teriak mbok Wati sambil
berlari. Nafasnya terengah engah.
“ A – a –
ada , polisi nyonya, “ kata mbok Wati.
“ Selamat pagi, kami dari pihak kepolisian
ingin memberitahukan bahwa putra anda Hafizi
telah
ditangkap dengan kasus sebagai pengedar narkoba, “ kata petugas kepolisian.
“Apa………….?”, kata Aisyah, dia pingsan setelah
mendengar dua kabar buruk sekaligus.
“ Dokter…………!” teriak mbok Wati dan Robiah.
Aisyah diperiksa dokter dan setelah itu dokter
memberitahukan hasil pemeriksaan.
“ Tidak………...! “ teriak Robiah sambil menangis
tersedu-sedu. Aisyah menderita penyakit struk, setengah badan bagian kirinya
tak dapat digerakkan.
********************
Setelah beberapa hari dirumah sakit, dokter
mengizinkan Aisyah pulang asalkan menjalani pengobatan secara rutin. Bagaikan
burung di dalam sangkar, Hafizi menghabiskan hari-harinya di sel tahanan, ia
merasa menyesal bahkan setelah tahu keadaan Umminya. Sedangkan Siti, dia pun
juga merasa sedih namun masih ada rasa kesal di benaknya.
Suatu hari Siti kehabisan uang dia memutuskan
mengambil berkas – berkas rumah dan restoran milik Umminya. Apalagi dia tahu
bahwa setiap pagi Robiah pergi berkerja dan hanya ada Umminya dan mbok Wati di
rumah. Namun hari itu Robiah pergi menjemput Soleha dan Hanafi di bandara.
Seperti pencuri yang sudah handal,
Siti menyelinap masuk ke dalam kamar Umminya, Aisyah saat itu sedang tidur. Satu per satu lemari dan laci dibuka dengan
sangat hati-hati.. Tanpa disadari Umminya terbangun dari tidurnya bersamaan
ketika Siti menemukan apa yang ia cari.
“ Em em em emm emmm emmmmmmmm ,” hanya kata –
kata itu yang terdengar dari mulut Aisyah, ia berusaha bangun dan mencegah
maksud buruk Siti.
“ Maafkan Siti ummi, Siti sayang ummi ,”
kata Siti sambil melambaikan tangannya
dan hendak keluar kamar. Baru saja hendak menutup pintu, dari dalam kamar
terdengar suara keras
“ Braaaakkkk….” Siti menghentikan langkahnya,
kembali lagi ia ke kamar Umminya. Pemandangan tak sedap dipandang, darah segar
mengalir dari kepala seorang Ummi yang menyayanginya karena kepala Aisyah
terbentur lantai, tempat tidurnya acak-acakan. Berjalan ia perlahan – lahan
menuju umminya.
“ Ummi ummi bangun, ummi ini Siti, ummi bangun….”
Siti menyesal dengan perbuatannya dia menangis. Diperiksa denyut nadi umminya,
sudah tak berdetak.
Robiah bersama Soleha dan Hanafi
yang baru saja pulang sangat terkejut dan terpukul dengan kejadian itu.
“Kau apakan ummi, Siti ? “ kata Hanafi.
“Maafkan aku, aku salah, aku memang salah
maafkan aku,” pinta Siti.
“Layakkah seorang anak durhaka yang tega
membunuh ibunya sendiri mendapat pengampunan ? Kau seperti manusia bodoh,
martabatmu sangat rendah dibandingkan seekor hewan. Apakah kamu pernah melihat
hewan membunuh induknya sendiri ? “ kata Soleha.
Siti merasa terpojok dan ia hanya bisa diam,
tangannya tetap memeluk umminya.
Isak tangis mereka masih terdengar
hingga proses pemakaman berlangsung. Aisyah dimakamkan di antara makam
Arman dan suaminya yang ada di
pekarangan rumah petak sederhananya yang dulu. Seorang bunda perkasa yang sudah
melahirkan enam insan, yang telah berjalan menyusuri jalan yang penuh
rintangan. Sosok cermin pahlawan buah hatinya. Rela banting tulang, rela
menerima cercaan dan rela segala hal hanya demi putra – putrinya . Namun kini
sang bunda harus pergi meninggalkan dunia yang fana ini, meninggalkan orang –
orang yang dicintanya.
Kisah-kasih terindah mereka hanya
tinggal kenangan. Siti menyimpan sebuah kertas kecil tertuliskan kata-kata
indah dengan tinta emas yang ia temukan dalam berkas – berkas yang hendak ia curi dahulu,
sebagai bukti betapa cintanya Aisyah pada putra-putrinya.
Cinta Putih Permata Hatiku
Ku torehkan dengan tinta emas , Pengharapan dan doaku
Hanya untukmu permata
hatiku, Hanya bagimu buah hatiku
Putih suci cinta ini untukmu, Bersih tak ternoda kasihku bagimu
Cintaku tak berdebu , Cintaku seputih awan di langit biru
Tuhan pintaku , jagalah permata
hatiku
Dan jadilah kalian harta berharga dalam hidupku
Jadilah kau cahaya hidupku,
Jadilah kau pelita jiwaku
Biar jadi penerang dalam malam mencekam
di hidupku
Ummi
sayang kalian putra - putriku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar