RSS

Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

Senin, 12 November 2012

CERPEN KASIH SAYANG BUNDA


KISAH AISYAH
KARYA : BAIQ NURYA HIDAYATI

Aisyah janda beranak enam itu ditinggal suaminya enam bulan yang lalu menghadap illahi. Suaminya meninggal setelah Aisyah berjuang mati-matian demi kelahiran putra bungsunya dan sejak itulah dia harus menjadi single parents bagi anak-anaknya. Robiah, Siti, Soleha, Hanafi, Arman dan Hafizi, itulah nama putra dan putri Aisyah.
            Disebuah rumah petak sederhana, berpagar bambu, beratapkan jerami dan berlantai tanah. Disanalah mereka tinggal menjalani hidup yang penuh suka dan duka. Mengingat tugasnya yang merangkap sebagai ayah, Aisyah kadang kebingungan, bagaimana ia harus mencari nafkah, pekerjaan terasa sulit di dapat, kehidupan kota  sangatlah kejam. Haruskah ia hanya terdiam dan pasrah pada kehendak tuhan ?
            Ditatapnya wajah Hafizi, putra bungsunya yang masih bayi, seketika itu terlintas dibenaknya pesan terakhir suaminya. “ Istriku,tibalah mungkin akan tercabut nyawaku, setelah sakit yang ku derita ini sudah tak ku tahan lagi, jagalah anak-anak kita dan bila engkau benar-benar dalam kesusahan, berdoalah pada-Nya semoga Allah mengabulkan pintamu, jangan berputus asa dan berprasangka baiklah selalu pada-Nya .”  Sejak itu Aisyah bertekad akan selalu membahagiakan keenam anaknya.
            Ummi, begitulah Aisyah dipanggil putra-putrinya. Diperdalam keimanan dan ketaqwaannya dengan mengerjakan amal-amal shaleh, hal-hal baik itu pun ditanamkan pada putra-putrinya dalam kehidupannya sehari-hari. Setiap usai sholat mereka senantiasa  mendoakan ayah mereka  yang telah tiada, diangkat kedua tangan mereka, kepala menengadah ke atas, berharap dalam hati semua pinta mereka akan terkabul.
           
           
Malam itu Robiah, Siti, Soleha, Hanafi dan Arman lelap dibuai mimpi, sedangkan ibunda mereka masih menggendong Hafizi yang tak henti-hentinya menangis. Suara tangis Hafizi membuat Robiah putri sulungnya terbangun. “ Ummi mengapa belum tidur, Hafizi rewel ya ummi ?” tanya Robiah. “ Ya biah, adekmu belum bisa tidur dari tadi dia hanya menangis ,“ jawab Aisyah. “ Biarlah Hafizi Robiah yang menggendong, ummi istirahat saja .“ “Tapi ?” sergah Aisyah, “ Tak apa ummi ,“ sahut Robiah.
            Aisyah akhirnya terlelap, tidurnya dihiasi mimpi-mimpi indah. Robiah memandang wajah umminya yang sedang tertidur, tampak lelah dan lemah. Tak lama kemudian Hafizi terlelap dalam gendongan Robiah, ditidurkannya Hafizi disamping umminya oleh Robiah. Merekapun tertidur diselimuti mimpi yang melukiskan tentang hari esok.
            Fajar menyingsing menyudahi mimpi indah mereka. Pagi-pagi sekali Aisyah sudah bersiap-siap ke kota mencari pekerjaan. Arman, putranya yang berusia 6 tahun merengek minta ikut. “ Ummi aku ingin ikut ?” pinta Arman. “Jangan, ummi ke sana berjalan kaki, kota sangat jauh, “ kata Aisyah. Namun Arman tak hendak diam, terpaksa Aisyah mengajaknya daripada perjalanan tak nyaman.
            Perjalanan ke kota memang cukup jauh, mereka harus berjalan kaki hingga 8 km. Sampainya di sana Aisyah langsung mencari pekerjaan dari satu toko, satu rumah bahkan satu kantor. Tidak ada yang menerima Aisyah untuk bekerja malah ia harus menerima cercaan dan makian karena penampilannya yang kumal seperti gelandangan. Sampai akhirnya ia menemukan seorang laki-laki yang butuh pekerja sebagai kuli panggul, untuk mengangkat beberapa karung beras.
            Tanpa pikir panjang, Aisyah menerima tawaran itu. “ Arman tunggulah ummi disini dan jangan kemana-mana ! “ perintah Aisyah. Arman hanya mengangguk sambil memainkan sebuah gangsing dari kayu. Satu per satu karung beras 50 kg dipanggulnya, dalam keadaan seperti ini rasanya beban 1 ton pun sanggup diangkatnya. Penat sekali seluruh badannya, meskipun hanya dibayar dengan sekantong beras saja hatinya puas.
           

Namun ditengah rasa bahagianya itu di kejauhan terdengar suara   “Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt...........Braaaaak……aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh ummmmiiii “, suara melengking Arman dihafalnya. Arman tertabrak sebuah truck yang melaju kencang  ketika Arman hendak mengambil gangsingnya yang jatuh ke jalan. Sopir truck malah kabur dan tak mau bertanggung jawab. Aisyah langsung berlari, dilihatnya tubuh Arman bermandikan darah, tulang-tulang kaki dan tangannya patah, jantungnya tak berdetak lagi. Semua orang disana panik, tergugah hati mereka untuk menolong, beberapa dari mereka menghubungi  polisi dan rumah sakit untuk mendatangkan sebuah ambulance.
Tubuh Aisyah gemetar dan lemas, mata indahnya meneteskan air mata. Dirangkulnya tubuh Arman, ada rasa sesal menyerbu benaknya. Ia merasa telah bersalah meninggalkan Arman. “ Oh anakku, mengapa seperti ini ? Begitu cepat kau meninggalkan ibu nak. Mengapa putra yang kucinta harus meninggalkanku dengan begitu tiba-tiba. Oh buah hatiku, maafkan ummimu ini, jika tak ku turuti kemauanmu tadi mungkin ini semua tidak akan terjadi.” Aisyah menangis , air matanya yang seperti bola permata itu tak henti-hentinya mengalir.
Polisi datang di tempat kejadian dan segera memeriksa kasus kecelakaan yang menimpa Arman. Tak beberapa lama mobil ambulance pun tiba dan membawa mereka ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan terhadap jasad Arman. Setelah proses-proses itu berlangsung, Aisyah bersama jasad putranya diantar pulang, namun hanya sampai di tepi kota karena ambulance tidak dapat masuk ke desa tempat tinggal Aisyah. “ Maafkan kami bu, sepertinya mobil ini tidak cukup masuk ke jalan setapak yang kecil ini, mungkin kita dapat menggotong jasad Arman bersama-sama,” kata petugas rumah sakit. “ Tidak apa pak, biar Arman saya gendong sendiri saja, bapak sudah cukup banyak membantu kami,” jawab Aisyah. “Tapi ?” sergah petugas, “Tak apa pak, lagi pula saya sanggup dan mampu,” lanjut Aisyah yang bersikeras membawa Arman pulang ke rumah sendirian. Dengan berat hati merekapun pergi meninggalkan Aisyah dan Arman.
Jasad Arman digendongnya menuju rumahnya yang cukup jauh dari sana. Tetes-tetes darah membentuk jejak-jejak bulat kecil disepanjang jalan setapak. Aisyah terus berjalan menerobos dinding-dinding penghalang didepannnya. Putra-putrinya yang lain masih menunggunya di rumah. Setelah jauh berjalan dan hampir sampai , Aisyah mulai lemah, sedangkan dari kejauhan putra-putri Aisyah melihat umminya menggendong seorang anak. “ Ummi………..” teriak mereka. Betapa terkejutnya mereka setelah tahu bahwa anak dalam gendongan umminya adalah mayat saudara laki-laki mereka. Aisyah tersungkur, tubuhnya lemas tak berdaya, ia berusaha berjalan dengan langkah terseok-seok. Robiah dan adik-adiknya berlari menghampiri ummi dan saudaranya.
Mereka menangis menatap saudaranya dalam kondisi yang sungguh menyedihkan, silih berganti mereka memeluk jasad Arman sambil menangis tersedu-sedu. Sesuai dengan syarat dalam hukum islam, mereka memandikan jasad Arman dan mereka lapisi dengan sepotong kain putih kemudian mereka kuburkan samping rumah mereka. Doa-doa mereka panjatkan, rasa sesal Aisyah tak henti-hentinya menghantui pikirannya. Aisyah termangu, dalam pikirannya terbayang andai suaminya masih hidup ia pasti akan kecewa. Tuhan telah mengambil salah satu permata hatinya. Kini masih tersisa lima anaknya yang menjadi amanat ditangannya.
Lambat laun, luka batin keluarga Aisyah dapat terobati sedikit demi sedikit. Rasa cinta dan kasih mereka satu sama lain tak sebanding dengan besarnya dunia ini. Mereka bagaikan satu tubuh, satu jiwa, satu raga yang seia sekata. Tidak akan mereka biarkan salah satu anggota tubuh mereka terasa sakit, maka akan  segera mereka obati. Hampir setiap hari mereka mengunjungi makam ayah dan saudara mereka. Makamnya dibersihkan dari segala macam kotoran dan mereka hiasi dengan doa, memuja dan memuji kebesaran tuhan yang kuasa.
Berbekal keberanian dan harapan, Aisyah kembali mencari pekerjaan ke kota. Pertama ia menuju sebuah warung nasi dan melamar pekerjaan di sana, seperti biasa hasilnya ditolak. Aisyah masih terus berjalan, walau telapak kakinya terasa panas tanpa alas.Dalam perjalanannya, ia melihat sebuah selogan yang tertempel pada sebuah dinding di halte bus, isinya tentang lowongan pekerjaan disebuah restoran. Sesampainya di depan restoran, Aisyah menghentikan langkahnya. Langkah kakinya ingin berjalan masuk tetapi ia takut akan ditolak lagi. “Bismilahhirrahmanirrahim,” katanya dalam hati. Kaki kanannya melangkah terlebih dahulu menuju sebuah ruangan yang ditunjukkan oleh salah seorang pelayan disana.

Tok.Tok.Tok, suara pintu diketok Aisyah seraya mengucapkan                             “Assalamualaykum.” “ Waalaykum salam, mari silahkan masuk,” sahut seorang wanita anggun yang paruh baya. Terjadi percakapan yang panjang antara si wanita dengan Aisyah. “ Maaf sebelumnya sudah mengganggu, saya Aisyah dari desa dan saya kesini hanya ingin mencari pekerjaan yang setahu saya ibu sedang butuh karyawan lagi. Apakah boleh saya bekerja disini ?” kata Aisyah. “  Perkenalkan pula saya Resti pemilik restoran ini, memang kami sedang butuh karyawan yang berbakat dalam hal masak-memasak. Apakah kamu memiliki bakat ini ?” “ Tentu bu, saya bisa memasak, bila ibu mau saya bisa memasakkan sebuah makanan untuk dicoba,” kata Aisyah meyakinkan. “ Baiklah kalau begitu mari ikut saya ke dapur, kamu bisa mencobanya disana.”
Aisyah kebingungan melihat sayur-mayur dan daging yang disediakan didepannya. Aisyah teringat makanan favorit keluarganya. Pertama ia meracik bumbu kemudian dicampurkannya dengan bahan pokok makanan itu.
“ Bu silahkan, ini masakan yang saya masak tadi, “ kata Aisyah. Bu Resti kemudian mencicipi masakan Aisyah.
“ Woww fantastic, makanan ini terasa nikmat sekali. Apa nama masakan ini?” tanya bu Resti.
 “ Ini adalah sup daging kesukaan almarhum suami dan anak-anak saya. Jadi bagaimana bu, bolehkah saya berkerja disini?” kata Aisyah.
“Tentu, mana mungkin saya menolak koki yang berbakat sepertimu, mulai sekarang kamu bisa bekerja disini sebagai juru masak.”
“Benarkah?” tanya Aisyah tak percaya. Bu Resti hanya mengangguk dan Aisyah mengucapkan rasa terima kasihnya dan berjanji akan berkerja dengan baik.
Setelah bekerja sekitar pukul lima sore Aisyah diizinkan pulang karena masih memiliki anak yang harus dia urus. Bosnya menitipkan makanan untuk putra dan putri Aisyah, bahkan ia menyuruh sopir pribadinya untuk mengantarnya. Bu Resti memang sangat baik ia berbudi pekerti luhur dan tutur katanya sopan dan halus. Namun sayang dibalik hidupannya yang serba mewah itu ia merasa tak punya teman hidup, karena suaminya telah meninggal dan anak semata wayangnya tinggal diluar negeri bersama istrinya seolah-olah tidak menghiraukan keadaan ibundanya.
Sesampainya di rumah.
“Bagaimana Ummi, apakah ada pekerjaan dan darimana makanan-makanan enak ini ?” tanya Robiah. Aisyah hanya diam, mimiknya tidak meyakinkan.
“Mengapa ummi hanya diam, memangnya ditolak lagi ?” tanya Siti.  
“Ummi…….. ummi…. emmmmm,” kata Aisyah memancing rasa penasaran anak-anaknya.
“Ayolah ummi jangan buat kami penasaran, “ kata Soleha dan Hanafi serentak. “  Maksud ummi, ummi tidak.”  
 “Tidak apa ?, pasti ditolak lagi, orang kaya kan memang sombong mana mungkin mereka mau menerima kita.” Ujar Siti kesal.
“Maksud Ummi, Ummi tidak ditolak untuk jadi juru masak di sebuah restoran,” kata Aisyah.
“ Sungguh Ummi ? “ tanya Hanafi tak percaya.
 “ Menurutmu apakah Ummi berbohong ?” kata Aisyah sambil mengelus-ngelus rambut putranya.
 “Alhamdulillah,” jawab mereka serentak.
Aisyah melihat Soleha diam-diam berbisik pada Hanafi.
 “ Bukankah kita ingin sekolah, bagaimana jika kita bilang saja pada Ummi ?” kata Soleha.
“Tidak aku tidak berani, kamu saja yang bilang pada Ummi.” Sahut Hanafi  keras.
“ Ssssssstttt, suara kamu keras sekali,” kata Soleha sambil menepuk bahu Hanafi.
“Ayo kalian berdua, kenapa berbisik-bisik?” tanya Aisyah.        
“U-u-u-uu-uu-umm-mi, bolehkah kami bersekolah lagi?” tanya Soleha gugup.
“ Ya ummi, kami ingin sekolah,” tambah Hanafi.
“Ooooo, kenapa harus bisik-bisik tetangga?, “ kata Robiah meledek sambil tertawa kecil. “ Kalian tidak usah hawatir, besok pagi kalian boleh bersekolah lagi seperti dulu, biar nanti gaji pertama ummi akan kita gunakan untuk membayar uang sekolahmu,” kata Aisyah.
“Benarkah ummi? “ tanya mereka.
 Aisyah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“ Yeeeeeeeeeee, horeeeeee,” teriak mereka kegirangan.
“Nah ummi, bagaimana jika Robiah dan Siti pergi mencari kayu bakar dan akan kami jual di pasar desa seberang, “ kata Robiah menyarankan.
“Betul itu itu ummi, dari pada menganggur, kan lumayan buat nambah penghasilan kita sehari-hari, “  ujar Siti menambahkan.
 “ Hem betul – betul – betul ! “ kata Aisyah.
“ Ha ha ha ha ummi lucu deh, “  kata  mereka sambil tertawa terbahak-bahak.
“ Tapi ingat kalian harus hati – hati, “ kata Aisyah.
“ Siiip Boss, “ sahut Siti dalam sikap hormat.
Malam makin mencekam, gonggongan merdu anjing terdengar. Tibalah saatnya harus merebahkan tubuh mereka. Mimpi – mimpi manis pun hampir disetiap tidurnya.
************************
Pagi kembali menjemput, suara kokok ayam hutan bak alarm yang disetel untuk membangunkan mereka. Setelah sholat subuh, mandi dan sarapan, Aisyah berangkat berkerja, Soleha dan Hanafi pergi sekolah dan Robiah yang menggendong Hafizi bersama Siti pergi menjual kayu bakar di pasar. Itulah kegiatan sehari-hari yang dilakukan mereka.
***************************
Tidak terasa tahun terus berganti, kehidupan keluaraga mereka makin hari makin tercukupi dan  putra-putri Aisyah makin dewasa . Robiah tumbuh menjadi gadis pintar dan sholeh, ia mewarisi sifat Umminya yang tidak pernah putus asa. Siti tumbuh sebagai gadis yang cantik dan cukup manja. Demikian pula Soleha dan Hanafi mereka mahasiswa  yang pintar bahkan bertekad untuk bisa bersekolah sampai luar negeri dan Hafizi kini menjadi. Pemuda tampan yang duduk di bangku SMA.
Aisyah menerima kabar dari seorang pelayan, agar Aisyah hari itu tidak berkerja namun segera ke rumah Bu Resti karena beliau sedang sakit. Aisyah segera menuju ke rumah Bu Resti. Ia melihat orang yang telah berjasa kepadanya tengah sakit diatas tempat tidur.
“Kemarilah nak, kemarilah,” pintanya. Aisyah tak kuasa menahan haru, sempat ia meneteskan air mata namun segera dihapusnya karena takut bu Resti tahu.
“Ibu sakit apa? “ Tanya Aisyah.
“ Kata dokter aku menderita tumor ganas dan diprediksikan usiaku sudah tidak lama lagi lagipula aku sudah bau tanah entah apa yang akan terjadi satu detik lagi mungkin itulah saatnya aku dipanggil yang kuasa jadi aku mohon satu hal darimu.”
“Apa itu Bu? Apapun yang Ibu inginkan pasti akan aku lakukan karena Ibu sudah seperti malaikat dalam hidup saya, “ kata Aisyah.
“ Satu hal ,” kata bu Resti. Tangannya makin kuat menggenggam tangan Aisyah makin lama makin terasa dingin.
“ Katakanlah Bu, apa itu?” tanya Aisyah.
“Aku ingin kamu mengelola restoran milikku dan rumah beserta isinya kuberikan untukmu.  Kelolalah dengan baik karena kamulah orang yang pantas menerima ini semua ,” jawab bu Resti. Tangan yang semula erat memegang Aisyah tiba-tiba terlepas dan bu Resti tak sadarkan diri.
 “Toloooooooooooooooong,” teriak Aisyah. Semua pembantu datang dan segera membawa Bu Resti ke rumah sakit. Nyawanya tak tertolong lagi, Aisyah merasa sedih kini dia memegang amanat yang sangat besar.
Aisyah sebenarnya sangat berat dengan amanat itu, bila bu Resti tidak meninggal begitu cepat dia tidak akan menerimanya.Bahkan ia tak sanggup meninggalkan rumah dengan sejuta kenangan.  Namun nasi telah menjadi bubur Aisyah sudah terlanjur berjanji . Hal itu belum diberitahukan pada anak-anaknya, ia hanya memberitahukan bahwa seminggu lagi mereka akan segera pindah ke kota karena tugas yang diberikan oleh Bu Resti.
“Di kota kita akan tinggal bersama siapa ummi ?” tanya Soleha. Aisyah hanya diam  tak menjawab.
“Bagus dong jika kita tinggal di kota, apa lagi yang menyuruh Bu Resti pasti kita disediakan tempat yang bagus,” kata Siti.
“Tapi Ummi, bagaimana dengan rumah kita ini, apakah harus kita tinggalkan begitu saja ?” kata Robiah dengan nada sedih.
“ Ya gak apa lah kak, rumah sekumal ini sudah gak layak ditempati lagi, secara di era global ini cuman kita yang punya rumah petak dekil ini,” kata Hafizi. 
“ Hafizi, jangan berkata seperti itu, lihat Ummi jadi sedih kan,” kata Hanafi.
***************
Seminggu berlalu, Aisyah merasa sangat berhutang pada Bu Resti. Terpaksa dia memutuskan untuk pindah ke kota menjalani hidup yang serba mewah. Setelah beres-beres mereka berkumpul didepan rumah, mengunjungi makam ayah dan saudara mereka.
 “Ayah dan Arman tak usah khawatir walaupun kami tinggal jauh dari sini, kami janji akan rajin menengok Ayah dan Arman,” Ujar Soleha. Mereka pun pergi meninggalkan sejuta kenangan indah, rumah petak sederhana yang mereka anggap lebih dari sekedar istana mewah dengan beribu kisah kasih mesra yang sudah mereka jalani.
Sesampainya disana.
“Woooowww,,  inikah istana di dunia dongeng Putri Nirmala ?” kata Siti.
“ Ummi apakah kita akan tinggal disini ?” Tanya Hanafi. Namun Aisyah tidak menjawab, mereka kemudian masuk dan kedatangannya disambut baik oleh para pembantu yang berkerja disana.
“ Bahkan ada dayang-dayang istana disini, “ ujar Siti dan Hafizi. Mereka pun duduk di serambi depan, Aisyah ingin menjelaskan hal yang terjadi sesungguhya.
“Anak-anakku, rumah ini adalah pemberian Bu Resti kepada kita, sebenarnya Ummi berat menerimanya karena ummi tak sanggup meninggalkan kenangan indah kita di desa dulu namun Ummi sudah terlanjur bersedia saat beliau menghembuskan nafas terakhinya, beliau juga berpesan agar kita menjaga semua yang diberikan dengan baik,” cerita Aisyah. “ Sungguh bu Resti memang sangat baik, semoga amal dan ibadahnya diterima yang kuasa,” kata Robiah.
“Bu Resti juga menitipkan restorannya kepada Ummi untuk dikelola,” lanjut Aisyah. “Alhamdulillah Allah memang maha adil, doa – doa kita selama ini akhirnya terkabul,” kata Hanafi.
 “ Yeahhhh akhirnya kita jadi orang kaya kak Siti,” kata Hafizi pada kakaknya.
“ Ha ha iya iya milyader mendadak kita dek,” sahut Siti.
“Bahagia sih boleh bahagia, tapi kalian harus bersyukur pada Allah dan membalas jasa Bu Resti dengan senantiasa mendoakannya dan ingat kita tidak boleh sombong, “ Robiah menasehatkan.
**************
Hari – hari sebagai konglomerat memang menyenangkan, namun belakangan ini sifat Siti dan Hafizi makin tidak karuan, sifat egois mereka makin menjadi - jadi. Hanafi dan Soleha mendapat beasiswa untuk meneruskan kuliah di Korea. Robiah dan Siti berkerja di restoran Umminya yang kini berkembang pesat dan memiliki beberapa cabang di beberapa daerah di propinsi NTB.
Hampir setiap hari Hafizi membuat onar di sekolahnya, hal ini membuat ia dicap sebagai cowok brandalan. Betapa kecewanya Aisyah dengan sikap Hafizi itu, dinasehatkan oleh Ummi dan kakaknya hingga berulang – ulang kali namun tak dihiraukannya. Demikian pula Siti bila sudah selesai berkerja dia langsung pergi bernostalgia bersama kawan atau kekasihnya sampai larut malam. Entah apa lagi yang harus dilakukan Aisyah, bila harus dengan perlakuan keras Aisyah tidak tega.
Siti pun makin durhaka pada Umminya, setelah Aisyah memutuskan Robiah sebagai direktur restoran karena usianya yang semakin tua dan sering sakit – sakitan. Siti merasa diperlakukan tidak adil, ia merasa dialah yang pantas. Namun Aisyah memutuskan itu berdasarkan hal –hal yang pantas untuk dijadikan sebagai perbandingan antara mereka berdua. Siti merasa jengkel dan memutuskan minggat dari rumah, hal ini membuat pikiran Aisyah terbebani hingga ia jatuh sakit.
 Robiah datang menemui Umminya yang sedang beristirahat dikamarnya.
 “ Ummi maaf mengganggu, tadi Pak Anto menelpon, beliau bilang restoran di Mataram sedang di demo warga karena banyak warga yang keracunan setelah makan malam disana,” kata Robiah.
“Astagfirullah, bagaimana mungkin Biah?” Aisyah terkejut dengan berita itu.
“Entahlah Ummi, tapi Robiah minta izin pada Ummi besok pagi Robiah akan berangkat kesana untuk menyelesaikan masalah ini , tapi Biah khawatir bila meninggalkan Ummi sendiri apalagi kini Ummi sedang sakit, ” kata Robiah.
“Pergilah nak, Ummi tak apa bila ditinggal disini, lagi pula ada mbok Wati yang menemani ummi disini, “ kata Aisyah.
**************
Setelah beberapa hari di Mataram dan hendak pulang, Robiah menerima kabar mengejutkan dari mbok Wati.
 “ Non tadi Ummi, tadi Ummi tadi…….,” kata mbok Wati terbata-bata.
“Ummi kenapa mbok ? “ tanya Robiah.
“ Tadi nyonya tiba – tiba pingsan dan tak sadarkan diri, mbok sudah mencoba menghubungi den Hafizi dan Siti namun nomernya tidak aktif,” kata mbok Wati.
“ Sekarang Ummi dimana dan keadaannya bagaimana mbok ?” tanya Robiah khawatir.
“ Kini nyoya ada di rumah sakit dan keadaannya makin membaik non, “ jawab mbok Wati.
“ Baiklah sampaikan salamku pada Ummi, sejam lagi aku akan sampai, “ pesan Robiah.
Robiah sampai dirumah sakit, dan mengunjungi umminya.
“ Bagaimana nak, sudah beres ? “ tanya Umminya.
“Ya Ummi semuanya beres dan tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, “: jawab Aisyah. 
“ Mana Hafizi dan Siti ? “ kata Aisyah melihat kiri dan kanan.
 “ Sebentar ummi, mereka sedang di perjalanan sebaiknya ummi istirahat saja,”  jawab Robiah.
Robiah menelpon Soleha dan Hanafi dan mengabarkan keadaan Umminya. “ Ummi sakit dek, jika bisa pulanglah dulu Ummi butuh dukungan kita disini,” kata Aisyah.
“ Baik kak, kami akan segera pulang tetapi mungkin lusa atau besok,” jawab mereka. “Ya tak apa, asalkan kalian berhati –hati dan selamat di perjalanan, “ pesan Robiah.
Setelah itu Robiah berusaha menghubungi Siti, namun tak diangkat. Robiah kemudian menelpon teman Siti.
“ Assalamualaykum, Siti ada disana Siska? “ tanya Robiah. Setelah mendengar jawaban Siska dari telepon,  Robiah terkejut bukan main.
“ Ada apa Robiah ?” tanya Aisyah.
 “ Ummi   Siti   ummi   siti,, !” kata Aisyah gugup.
 “ Ada apa dengan Siti ?”  tanya Aisyah.
“ Siti….. Siti…. Siti hamil ummi ! “ jawab Aisyah.
“Nooonnnnnn,,,,, ! “ teriak mbok Wati sambil berlari. Nafasnya terengah engah.
 “ A – a – ada , polisi nyonya, “ kata mbok Wati.
 “ Selamat pagi, kami dari pihak kepolisian ingin memberitahukan bahwa putra anda Hafizi
telah ditangkap dengan kasus sebagai pengedar narkoba, “ kata petugas kepolisian.
“Apa………….?”, kata Aisyah, dia pingsan setelah mendengar dua kabar buruk sekaligus.
“ Dokter…………!” teriak mbok Wati dan Robiah.

Aisyah diperiksa dokter dan setelah itu dokter memberitahukan hasil pemeriksaan.      
“ Tidak………...! “ teriak Robiah sambil menangis tersedu-sedu. Aisyah menderita penyakit struk, setengah badan bagian kirinya tak dapat digerakkan.
********************
Setelah beberapa hari dirumah sakit, dokter mengizinkan Aisyah pulang asalkan menjalani pengobatan secara rutin. Bagaikan burung di dalam sangkar, Hafizi menghabiskan hari-harinya di sel tahanan, ia merasa menyesal bahkan setelah tahu keadaan Umminya. Sedangkan Siti, dia pun juga merasa sedih namun masih ada rasa kesal di benaknya.
Suatu hari Siti kehabisan uang dia memutuskan mengambil berkas – berkas rumah dan restoran milik Umminya. Apalagi dia tahu bahwa setiap pagi Robiah pergi berkerja dan hanya ada Umminya dan mbok Wati di rumah. Namun hari itu Robiah pergi menjemput Soleha dan Hanafi di bandara.
            Seperti pencuri yang sudah handal, Siti menyelinap masuk ke dalam kamar Umminya, Aisyah saat itu sedang tidur.  Satu per satu lemari dan laci dibuka dengan sangat hati-hati.. Tanpa disadari Umminya terbangun dari tidurnya bersamaan ketika Siti menemukan apa yang ia cari.
“ Em em em emm emmm emmmmmmmm ,” hanya kata – kata itu yang terdengar dari mulut Aisyah, ia berusaha bangun dan mencegah maksud buruk Siti.
“ Maafkan Siti ummi, Siti sayang ummi ,” kata  Siti sambil melambaikan tangannya dan hendak keluar kamar. Baru saja hendak menutup pintu, dari dalam kamar terdengar suara keras
“ Braaaakkkk….” Siti menghentikan langkahnya, kembali lagi ia ke kamar Umminya. Pemandangan tak sedap dipandang, darah segar mengalir dari kepala seorang Ummi yang menyayanginya karena kepala Aisyah terbentur lantai, tempat tidurnya acak-acakan. Berjalan ia perlahan – lahan menuju umminya.
“ Ummi ummi bangun, ummi ini Siti, ummi bangun….” Siti menyesal dengan perbuatannya dia menangis. Diperiksa denyut nadi umminya, sudah tak berdetak.
            Robiah bersama Soleha dan Hanafi yang baru saja pulang sangat terkejut dan terpukul dengan kejadian itu.
“Kau apakan ummi, Siti ? “ kata Hanafi.
“Maafkan aku, aku salah, aku memang salah maafkan aku,” pinta Siti.
“Layakkah seorang anak durhaka yang tega membunuh ibunya sendiri mendapat pengampunan ? Kau seperti manusia bodoh, martabatmu sangat rendah dibandingkan seekor hewan. Apakah kamu pernah melihat hewan membunuh induknya sendiri ? “ kata Soleha.
Siti merasa terpojok dan ia hanya bisa diam, tangannya tetap memeluk umminya.
            Isak tangis mereka masih terdengar hingga proses pemakaman berlangsung. Aisyah dimakamkan di antara makam Arman  dan suaminya yang ada di pekarangan rumah petak sederhananya yang dulu. Seorang bunda perkasa yang sudah melahirkan enam insan, yang telah berjalan menyusuri jalan yang penuh rintangan. Sosok cermin pahlawan buah hatinya. Rela banting tulang, rela menerima cercaan dan rela segala hal hanya demi putra – putrinya . Namun kini sang bunda harus pergi meninggalkan dunia yang fana ini, meninggalkan orang – orang yang dicintanya.
            Kisah-kasih terindah mereka hanya tinggal kenangan. Siti menyimpan sebuah kertas kecil tertuliskan kata-kata indah dengan tinta emas yang ia temukan dalam  berkas – berkas yang hendak ia curi dahulu, sebagai bukti betapa cintanya Aisyah pada putra-putrinya.
                                   

Cinta Putih Permata Hatiku
Ku torehkan dengan tinta emas , Pengharapan dan doaku            
Hanya untukmu  permata hatiku,  Hanya bagimu buah hatiku   
Putih suci cinta ini untukmu, Bersih tak ternoda kasihku bagimu                                                                                
Cintaku tak berdebu , Cintaku seputih awan di langit biru       
Tuhan pintaku ,   jagalah permata hatiku                                         
Dan jadilah kalian harta berharga dalam hidupku                          
Jadilah kau cahaya hidupku,  Jadilah kau pelita jiwaku                
            Biar jadi penerang dalam malam mencekam di hidupku               
            Ummi sayang kalian putra - putriku                                                          



           
                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar