RSS

Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

Senin, 23 November 2015

MERAMBUTI SI GUNDUL



by: Baiq Nurya Hidayati
Sepasang mata senduku ini mulai menerawang seluruh penjuru . Menatap barisan rumah panggung dengan ukiran-ukiran indah didindingnya. Rumput terhampar bak permadani di istana Aladdin. Bukit-bukit nan hijau menjulang mengelilingi tempat ku berpijak ini. Deretan pepohonan tampak anggun memesona . Ku tengadahkan kepalaku menatap langit yang memendarkan pesona cahaya biru diselingi awan yang berarak mengikuti hembusan nafas sang angin .Mentari pun sepertinya tampak semangat menjalankan tugasnya siang ini. Subhanallah, Aku memekik takjub. Apakah aku berada di negeri dongeng ? batinku bertanya-tanya.
“Terimakasih Pak, Bapak sudah bersedia mengantar saya sampai disini. Kalau tidak ada Bapak, saya pasti sudah tersesat,” kataku pada kerabat bibiku yang diminta untuk menjemputku di terminal tadi.
“Ya nak, sama-sama. Sampaikan salamku untuk bibimu, maaf Bapak tidak bisa mampir karena ada urusan mendadak,“ jawabnya sambil melontarkan senyum ke hadapanku.
Baru saja suara deruman motor kencang melaju, tiba-tiba ku dengar teriakan memanggil namaku yang sontak membuatku sedikit kaget hingga jantungku berdetak agak cepat dibanding sebelumnya.
“Yusuuuuuuuuuuuuuuuuuuff,” teriak dua sosok orang yang sebaya denganku sambil berlari melambai-lambaikan tangannya.
“Bagaimana kabarmu kak yusuf?” tanya sepupuku Rusmiati.
“Aku sendang sakit Rus,” jawabku singkat.
“Alaaaaa, sakit bagaimana kau ini Suf? Nampaknya kau sehat-sehat saja , mukamu tak pucat. Coba sini, ku periksan keningmu . Ah, Tak demam ! Tanganmu , kakimu , telingamu , hidungmu tak ada yang terluka. Lalu kau sakit apa sih Suf?” celetuk Murai , kakak Rusmiati.
“Ya seperti yang kalian lihat , aku mengidap penyakit wajah tampan . Tidak menular sih , tapi tidak bisa disembuhkan, haha,” jawabku sambil tertawa kecil.
“Kak Yusuf ini ada ada saja , membuat kami panik saja,” sahut Rusmiati dengan nada sebal.
“Hahahahaha. Jika ada penyakit semacam itu , menular kepadaku pun tidak apa-apa,” canda Murai.
“Huuuuuuuuuuu dasar kak Murai. Kalaupun ada, penyakit itu pasti ogah menghampirimu, karena kakak  memang ditakdirkan dengan tampang pas-pasan. Huft,  sudahlah jangan becanda terus. Ayo kak Yusuf cepatlah masuk ke rumah . Kakak harus istirahat, bukankah perjalanan dari Lombok ke Kalimantan sangatlah melelahkan ? “ ajak Rusmiati.
            “Benar Yusuf, lagipula
ibuku sudah menanti-nanti kehadiranmu sejak tadi . Ayo cepat ! Akan ku bantu kau membawa barang-barangmu suf, “ kata Murai
Sambutan hangat kudapatkan saat ku sampai di kampung halaman almarhum ayahku. Ayahku menghadap Illahi saat aku berusia 14 tahun. Ya tepatnya 1 tahun yang lalu. Keadaan ekonomi yang semerawut memaksa ibuku untuk berkerja sebagai pahlawan devisa di Jazirah Arab. Beliau berangkat seminggu yang lalu dengan sebelumnya menitip pesan pada ibunya Rusmiati dan Murai untuk menjaga dan merawatku sembari ia berada disana. Semua kisah-kasih di Lombok harus ku kenang dan kini aku harus mulai merajut kisah yang baru di Kalimantan ini.
Rusmiati dan Murai sama denganku . Ayahnya juga sudah dijemput oleh Yang Esa bahkan jauh sebelum ayahku. Sekitar 10 tahun yang lalu, saat usia Rusmiati 4 tahun dan  Murai berusia 5 tahun. Namun mereka dikaruniai seorang ibu yang perkasa. Bibiku ini adalah sosok wanita penyayang, perhatian, kuat, dermawan dan pekerja keras. Jadi wajar bila ibuku mempercayakan aku padanya.
“Capek nak?” tanya bibi setelah ku cium tangannya yang terasa agak kasar . Mungkin karena banyak berkerja hingga tangannya tak halus lagi.
“Lumayan bi,” jawabku sambil tersenyum manis yang semanis-manisnya dihadapan bibiku.
“Lebih baik kau istirahat dulu nak Yusuf, biar Murai yang mengantarmu ke kamar,” kata bibiku lembut.
“Baik bi. Oh ya bi, bapak yang mengantar ku kemari tidak dapat mampir karena ada urusan, ia hanya titip salam untuk bibi,“ tuturku pada bibi.
“Oh ya tidak apa-apa .Beliau memang begitu , orangnya sibuk melulu nak,“ jawab bibi.
“Ayo Yusuf ! “ ajak Murai.
“Mari bi, Yusuf rehat sebentar,” kataku pada bibi.
“Iya nak,” sahutnya lembut.
“ Hei Suf, kamu harus tidur siang dengan pulas agar tubuhmu fit kembali. Sebab nanti sore aku dan adikku akan mengajakmu untuk pergi ke hutan,”  jelas Murai padaku.
“Sungguh? Waaaaaaah, aku pasti dapat melihat orang utan Kalimantan secara langsung. Hmh, asyik-asyik,” jawabku riang.
“ Ya, aku tidak bercanda Suf. Jika kau ingin pergi kesana maka segeralah kau bergegas tidur bila tak ingin tertinggal nantinya,” tegas Murai.
Oke Boss,” sahutku singkat dengan mengangkat ibu jariku ke hadapan Murai.
                                                ************************
Waktu yang ku tunggu-tunggu telah datang. Kini tiba saatnya aku, Murai dan Rusmiati berangkat ke hutan dengan semangat yang membara-bara bak kobaran api yang siap melahap apa saja di hadapannya.
 Dengan berjalan kaki, kami susuri jalan tak beraspal, melewati pasar terapung yang nampak sepi di sore hari. Terus berjalan menyusuri jalan setapak yang sangat asing bagiku, yang ada dibenakku hanyalah sesosok orang utan yang dirindukan oleh tatapanku ini, sesosok orang utan yang sempat menghampiri mimpiku di siang tadi. Oh orang utan , seperti apakah gerangan wajahmu itu ? batinku.
Beberapa saat kemudian sampailah kami di tempat tujuan. Aku terdecak, bukan karena kagum melainkan apa yang ku lihat tak sebanding dengan apa yang kubayangkan. Hutan yang biasanya sesak akan pepohonan, padat akan semak belukar, berbalut lumut-lumut hutan dan rerumputan malah justru miskin pohon, kurang rumput bahkan tanpa semak belukar. Sirna sudah harapanku dapat berjumpa dengan orang utan, bayang-bayang penuh harap sudah melayang membumbung tinggi ditebas pedang pencipta lara.  Apa gerangan yang telah terjadi ? batinku bertanya-tanya.
“Mir, Rus , apakah ini hutan sungguhan?” tanyaku heran.
Namun mereka hanya saling bertatapan tanpa sahutan tak berkata-kata.
“Apa yang sudah terjadi?“ tanyaku lagi.
Namun hanya dibalas bahasa tubuh dengan mengangkat kedua pundak mereka.
“Lihat dua bapak-bapak yang tengah mengambil gambar disana. Bagaimana jika kita tanyakan saja pada mereka?” tanya Rusmiati meminta persetujuan.
“Ide bagus!sahut Murai.
“Permisi Pak, maaf kami mengganggu bapak. Saya Yusuf dan ini Rusmiati serta Murai sepupu saya  . Jika boleh tahu bapak-bapak ini siapa ya dan apa yang sedang anda lakukan ?” tanyaku.
“Ya nak, tidak apa-apa. Saya Pak Eman dan beliau adalah Pak Yayat rekan kerja saya sebagi polisi hutan. Kami tengah mengadakan pemantauan di hutan ini, “ tutur Pak Eman.
Mengapa kondisi hutan ini sangat memperihatinkan Pak?” tanya Rusmiati.
            “Sepertinya telah terjadi pembalakan hutan oleh orang-orang rakus demi memuaskan ego mereka,“
jawab pak Eman.
“Pak, bolehkah kami ikut memantau hutan bersama Anda?” tanya Murai.
“Boleh nak , tetapi hari semakin senja. Bagaimana jika kalian ikut memantau kondisi hutan esok hari saja, Besok hari Minggu bukan? Jadi kalian bisa datang lagi kemari di pagi hari,” tutur pak Eman.
            “Wah , terimakasih Pak . Besok kami pasti akan datang!“ jawab Murai semangat.
Usai pamitan kami pun pulang dengan  perasaan yang campur aduk seperti makanan serebuk khas Lombok. Ibarat togenya adalah rasa kecewa, kancang panjangnya adalah haru, parutan kelapanya adalah sedih, pakisnya adalah semangat dan daun turinya adalah  perasaan senang yang diaduk-aduk jadi satu. Kecewa karena aku tak dapat melihat sosok orang utan, haru dan sedih karena melihat kondisi hutan yang membuat hatiku miris, senang dan semangat karena para polisi hutan mengijinkan kami ikut berpastisipasi dalam pemantauan besok.
Langit kini memendar cahaya jingga disela pesona birunya . Ku tatap wajah sang mentari yang mulai pucat, saat pesona wajahnya tak lagi cerah dan  tak lagi bergairah . Tugasnya usai  untuk hari ini, mungkin inilah saatnya ia akan berleha-leha dalam singgasana kursi goyangnya di jagad raya.
                                    ************************
Malam menjemput semesta , hadirkan sang rembulan berhiaskan serbuk bintang yang bertaburan dalam gelap gumintang sang alam.Usai makan malam,  aku, Murai dan Rusmiati berkumpul di bagian depan rumah dan berbincang-bincang mengenai persiapan kami untuk hari esok.
“Hei Mir, apakah kau punya teropong?” tanyaku.
“Ya Suf, aku punya. Tenang saja pasti akan aku bawa esok ! Dik, tugasmu persiapkan  bekal untuk pemantauan besok. Bawalah seperlunya ya, “ kata Murai.
“Ya kakakku sayang,“ timpal Rusmiati.
“Jadi persiapan untuk besok sudah komplit. Sebaiknya kita tidur saja agar esok kita bisa bangun pagi-pagi,“ tuturku pada mereka.
            Oke Boss,“
sahut keduanya serentak sambil mengacungkan ibu jari mereka tepat di hadapan kedua bola mataku seraya melontarkan senyum sumringah dan berakhir dengan tertawa hahahaha.
Ku biarkan diriku tenggelam dalam sunyinya malam, ku tarik selimut untuk mengusik dingin yang melanda tubuhku dan ku tutup kelopak mataku dan membiarkan diriku hanyut dibuai mimpi sembari menanti sang malam merangkak menuju sang fajar.
                                    *************************
Sang surya melanjutkan tugasnya kembali, pepohonan menggeliat hangat, embun mulai bersingut pergi, kabutpun berlalu berlari. Ku sapa Rabb-ku dalam syahdu sujud sembahku. Kini aku siap merajut kisah baru selanjutnya. Selamat pagi Kalimantan ! batinku.
Usai meminta izin pada bibi, kamipun berangkat menuju hutan untuk melakukan pemantauan bersama pak Eman dan pak Yayat. Sesampainya disana ternyata keduanya telah menunggu kedatangan kami. Usai bercakap-cakap untuk saling menyapa sejenak, kamipun memulai pemantauan kondisi hutan bersama-sama.
“Mir, Rus, mau bernyanyi bersama?” tanyaku
“Lagunya apa kak yusuf ?” tanya Rusmiati penasaran.
“Kalian dengarkan dahulu, baru kemudian diikuti lalu dinyanyikan bersama. Bagaimana ? Siaaaaaaaaaaaaap?” tanyaku lagi.
Siap!,” Sahut mereka lantang.
Jalan-jalan ke dalam hutan
Jauh-jauh sekali
Jalan-jalan ke dalam hutan
Jauh-jauh sekali
Kiri-kanan kulihat saja
banyak pohon ditebaaang
Kiri-kanan kulihat saja
banyak pohon ditebaaang
                        (nyanyikan seperti lagu naik-naik ke pucak gunung)
Kondisi hutan Kalimantan benar-benar membuat miris hati siapa saja yang melihat. Sangat-sangat memperihatinkan. Sungguh-sungguh mengharukan. Pepohonan hijau yang tersisa hanya secuil saja.
“Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgrrrrrrrrrrrrrrrrrgrrrrrrrrrrrrrrrrr,” suara bising itu membelah semesta. Bahkan telingaku tak kuasa mengemban tugasnya. Entah suara apa itu dan darimana sumbernya . Mencoba mendengar dengan seksama mengikuti arah sumber bunyinya. Makin lama suaranya semakin jelas dan semakin keras.
“Disana!” kata pak Eman seraya menunjuk sebuah tempat.
“Gunakan teropongmu nak dan lihat apa yang tengah terjadi disana !” tambah pak Yayat.
“Baik Pak,” kata Murai sigap.
“Apa yang kau lihat?” tanyaku.
            “Ada orang yang menebang pepohonan di tepi sungai  hutan
,” tutur Murai tergesa-gesa sambil menunjuk lokasi yang sama. Terbayang dibenaknya ketika dulu ia sering berenang disungai yang asri dengan berbagai macam vegetasi disekitarnya yang membuatnya teduh, nyaman dan jernih.
Amarah mulai menyusup ke urat nadi kami, mengalir ke setiap hembusan nafas kami, memuncak hingga ke otak kami hingga akhirnya memboikot jiwa kami. Kami geram bukan main. Hujatan, celaan dan kekecawaan terlontar dari bibir kami kepada mereka yang membabat hutan hanya demi memuaskan ego mereka semata.  Hutan salah apa hingga mereka gunduli ? Apakah hutan pernah mengusik hidupnya ? Apakah hutan adalah monster yang siap meluluh lantahkan pemukiman mereka ? Apakah hutan pernah mengganggu kehidupan mereka , mengambil harta kekayaan mereka, mengambil sanak saudara mereka? Hutan salah apa? Hutan salah apa? gerutuku dalam hati.
“Kurang ajar, jadi ia yang telah membabat ribuan pohon di hutan ini. Ia fikir ia siapa? Seenaknya saja menghancurkan sumber segala kehidupan di desa ini,” hujat pak Yayat.
Suasana diselimuti amarah yang meluap-luap.
            “Sudahlah pak, marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana solusi untuk mengembalikan pesona hijau di hutan ini,”
kata Rusmiati mencoba membersihkan suasana dari kekeruhan akibat luapan amarah.
Hening kembali menyelimuti , kening kami berkerut berfikir keras. Apa yang akan kami lakukan ?
            “Aha ! Aku punya ide!“ kataku mengusik keheningan.
            “ Apa itu Suf
?” tanya Murai.
            “Iya kak, ide brillian seperti apa itu?” tambah Rusmiati.
            “Bagaimana jika kita melakukan penyuluhan di masyarakat di kalangan tua dan muda untuk bersama-sama melakukan reboisasi?” jawabku meminta pertimbangan.
            “Wah ide bagus anak muda,”
timpal pak Yayat.
“Bagaimana jika kita mulai dari sekarang saja?” kata pak Eman.
“Ya pak , lebih cepat lebih baik bukan?” sahut Rusmiati.
Tanpa memikirkan apa-apa, kami langsung bergegas menjalankan rencana tadi. Mulai dari pusat kerajianan masyarakat. Bahkan meminta ahli pertanian untuk mengunjungi sekolah-sekolah di Kalimantan.
Hal ini kami jalani dengan semangat demi mengembalikan pesona hijau sang hutan.
                                                *************
Minggu yang penuh petualangan telah berlalu, kini aku siap merajut kisah baru di hari selanjutnya. Ya, senin . Sekolah baru, teman baru, guru baru dan pengalaman baru. Usai perkenalan singkat , seorang ahli pertanian mengunjungi sekolah kami dan mengajak kami ke kebun untuk memanen nanas. Usai memanen nanas, kami kembali lagi ke kelas membawa hasil panen.
            “Nah, anak anak dari kegiatan ini apa yang dapat kita simpulkan?” tanya
Bu guru.
Sontak ku acungkan tanganku dan mulai menuturkan jawaban dari pertanyaan guruku.
“Tumbuhan seperti pepohonan ataupun buah-buahan sangatlah penting dalam hidup kita. Jika kita menanam, kita tentu dapat hasilnya. Namun, keadaan vegetasi di lingkungan kita sangatlah mengkhawatirkan. Hutan yang seharusnya diartikan sebagai titipan untuk anak cucu kita justru diartikan sebagi warisan nenek moyang yang dapat dieksploitasi seenaknya. Tidakkah miris hati kita melihat kondisi ini kawan?” jelasku di hadapan teman-teman dan guruku.
“Kalian kini sudah tahu arti penting tumbuhan bagi kita. Lalu kira-kira apa yang akan kalian lakukan untuk menyelamatkan hutan kita?” tanya guruku kembali.
“Menanami hutan kembali Bu,” jawab Murai semangat.
“Ya benar sekali . Jadi sekarang kalian boleh pulang untuk bersiap-siap melakukan reboisasi di hutan bersama para pelajar dari sekolah lain dan warga desa sore nanti,” tutur guruku.
“Asyiiiik!” sorak-sorai menyelimuti suasana di ruang kelasku.
Sore pun tiba. Dengan semangat , kami mulai menanam bibit pohon yang diberikan oleh kantor pertanian. Rasa senang penuh harap singgah di hatiku. Berharap sang hutan dapat kembali memendarkan pesona hijaunya di bawah naungan langit biru.
Usai melakukan reboisasi aku dan kawan-kawan menyempatkan diri untuk bermain layangan di tanah lapang. Hembusan angin menerbangkan layang-lanyang kami. Membumbung menuju langit jingga, menari-nari dalam deru sorak-sorai kebahagian. Terus membumbung melambung tinggi membawa harapan mulia kami. Harapan yang bermulai sejak dimulainya hari ini dan belum berakhir walau sang mentari beranjak pergi. Harapan agar luka sang hutan dapat terobati hingga sang hutan dapat menebar senyum kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar