Mata
bundar itu tengah menyapu seluruh penjuru, pada cahya yang terbekas samar di
sela mendung pagi itu, pada ikan yang menyambut kami riang, dan pada nelayan
yang tengah beradu dengan perahu. Hingga tiba saat dimana mata itu kini lekat menatapku.
Sorot mata yang indah, tatapannya sungguh tak mampu ku bendung. Seketika aku tertunduk lalu mengalihkan pandanganku pada seorang nelayan
yang tengah sibuk menata jangkarnya.
“Aku ingin naik perahu”, gumamku lirih.
“Perahu?” tanyanya.
Suara itu, suara yang amat ku rindu. Suara yang dulu
biasa saja kini debarkan jantungku seketika. Suara yang amat ku hafal
walau teramat jarang ku dengar. Gadis pemalu itu kini di hadapanku, gadis pemalu itu
kini berbicara padaku dan seketika kini akulah yang lebih malu.
“Iya”, jawabku singkat sembari ku raba dadaku menahan
debaran jantungku yang semakin menjadi-jadi. Lalu aku berjalan beberapa langkah
menjauh darinya, mencoba menata jarak untuk dapat bergerak.
Dia mendekat lagi, aku takut. Takut jika jantungku makin
berdegup kencang, bukan takut karena seketika jantungku tak akan mampu memompa
darah mengalir ke seluruh tubuhku lagi, tapi aku takut jika debaran jantungku
ini sungguh pertanda bahwa aku telah jatuh hati.
“Ayo”, ajaknya.
“Kemana?”
“Keatas, pemandangan disana akan jauh lebih indah,”
tunjukknya pada dermaga di bibir pantai tempat kami berada.
Aku berjalan tepat di belakangnya, mengikuti jejak gadis
berperawakan kecil dengan pipi bulat yang mengembang tiap kali ia tersenyum. Ia
dulu membenciku dan akulah yang paling membencinya.
“Naiklah,” katanya sambil menoleh padaku.
“Tidak, kau saja”.
Kebohongan
macam apa yang tengah ku ucapkan, sebanyak mulutku berkata tidak maka sebanyak
itu pula hatiku berkata iya.
Iya, aku teramat ingin untuk menatap
alam dengannya, bersama bercerita tentang apa kabar dan bagaimana hidupnya
sekarang.
“Bagaimana jika berdua?” tanyanya lagi,
“Tidak, aku ingin disini saja”.
Lagi-lagi
aku berbohong, mulutku lagi-lagi berkata tidak tapi hatiku teramat ingin
berkata iya.
Iya,
bagaimana mungkin aku tak ingin berdua denganmu, duduk berdua bercengkrama
bercerita tentang desa dan kampung halaman kita.
“Sebentar saja, kali ini saja, besok tak lagi”. Jawabnya.
Ucapannnya itu kini buat hatiku sesak dan aku mulai
menaiki anak tangga satu persatu dengan ragu, kata-kata yang ia lontarkan bak
tsunami yang meluluh lantahkan keramaian pantai. Sesak, teramat sesak aku
mendengarnya. Besok tak lagi? Apakah itu pertanda ia akan membuatku merindu
dirinya lagi? Iya, aku rasa iya.
“Indah bukan?” tanyanya dan ku balas anggukan.
Hening, hanya hati kita yang mungkin mencoba bersua.
Tatapan kita memang tak bertemu, tapi kita menatap pada hal yang sama. Pada
alam yang kini seolah tengah dendangkan lagu cinta lewat kicau burung dan ditambah
rintikan hujan timbulkan riak air membuat suasana makin syahdu.
“Besok berangkat
jam berapa?”, tanyaku.
“Pagi, ba’da Subuh, aku berangkat,”
“ Oooh” Jawabku singkat.
“Duduklah disini,” katanya sembari tangan kecilnya
menepuk-menepuk debuk yang tertempel dengan sesekali mulutnya meniup debu yang
masih tersisa.
“Ayolah!” Ajaknya dengan senyum sumringah yang
mengembangkan pipi bulatnya.
Aku ragu lagi, langkahku melambat hingga akhirnya aku
berhenti dan melangkah pelan menuju dirinya hingga kudapati diriku kini tengah
duduk tepat disampingnya. Ia lekat menatap alam.
“Langit dan bumi yang begitu jauh dipersatukan oleh garis
cakrawala, horizon itu menjadi titik temu. Bagaimana dengan kita?”
“Apa? kau bilang apa?” Tanyaku heran.
“Tak ada, lupakan!” Jawabnya.
Suasanan hening lagi dan kini aku memandangnya yang
tengah menikmati pemandangan di depannya dan seketika ia menoleh ke arah ku
hingga mata kami lekat saling tatap.
“Pulang?” Tanyanya.
“Iya,” Jawabku sambil mengangguk. Entah kebohongan yang
keberapa. Aku ingin menaiki perahu bersamanya, mengayuh bersama, melihat
senyumnya lebih lama, dan aku teramat ingin berlama-lama dengannya disini. Tak
apa jika menanti siang saat sang surya tengah bersemangat pancarkan sinarnya
pun aku rela, tak apa bila harus menunggu senja dengan semburat jingganya. Tak
bisakah kita duduk lebih lama?
Pada akhirnya kami berjalan pulang menuju rumah kami,
melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang kami tempuh sebelumnya, menyusuri
jalan yang teramat asing kurasa. Entah kemana jalan ini akan membawa kami
pergi. Tak apa, aku menikmati perjalanan denganya, dia dan aku saja berjalan
sembari mendorong sepeda kami masing-masing. Momen yang akan kurindu karena
besok mungkin tak lagi.
Wajahnya tak bisa menghantarkan ku
untuk tidur lelap. Hiruk pikuk malam terus bersua. Lolongan
anjing dalam sepi, menangis. Suara jangkrik berderik, meringis dan mata ku coba
pejam, tahan tangis. Baru tadi pagi berlabuh rinduku, esok kan sepi lagi. Baru
tadi pagi kita duduk bersama, esok tak lagi. Sendiri, merindu lagi.
Esok
ia kan pergi, katanya ia petarung ilmu. Ia ingin menatang para pengibas buku, bertemu
saintis muda yang haus akan ilmu, dan berjumpa para kritikus muda berbalut
almamater yang sama dengannya. Sosok ambisius gadis berbadan kecil itu sempurna
membuat pikiranku tak bergeming dari dirinya.
Padamu, bolehkah aku jatuh cinta?
Subuh begitu cepat menyapa dengan iringan para
pengkumandang azan memanggil jiwa-jiwa yang merindu dan dirindukan Rabb-Nya.
Kini
tiba saatnya giliranku yang mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa lagi,
iya, kata-kata ini yang ingin ku katakan nanti. Namun, apadaya ketika ia
dihadapanku dengan tangannya menjulur dihadapanku, aku mendadak bisu. Sungguh
tak ada satupun kata-kata yang terlontar dariku. Ku jabat tangannya sembari
mata kami beradu. Kini tanganku ia genggam dengan kedua tanganya sembari
menyebut namaku, hanya itu. lalu ia pergi, berlalu, berlari. Sungguh aku ingin
berkata aku tak ingin dia pergi tapi sekejap ia sudah tak tampak di pandanganku
lagi.
Sepeda ku kayuh kembali menuju bibir pantai, ingin mentap
senja yang selalu tampilkan gradasi warna yang sempurna, aku selalu menati
senja, entah mengapa aku begitu suka pada semburat jingga. Andai saja dia mau
duduk denganku lebih lama menanti
senja,. Ah, salahku yang tak memintanya.
Setengah
jam berlalu dan aku sampai pada tempat dimana aku berdiri berdua dengannya
kemarin pagi, lekat kenangan itu masih kuingat. Cara ia menatap langit, caranya
menatap alam dan matanya kala tatapan kami bertemu serta pada suaranya yang
kini tak lagi kudengar. Dialog kami waktu itu begitu ku hafal, aku seperti memutar
video dengan aku dan dia sebagai pemerannya.
Sang
surya mulai lelah, ia tampak penat tak bergairah, mungkin inilah saatnya ia berleha-leha pada singgasana istana jagad
raya.
Perahu-perahu tampak berjejer di tepi dermaga
dan bila hatiku ini adalah perahu maka hanya padamu jua rinduku kan berlabuh.
Nanti, bila kita berjumpa, jumpa kita aku hanya ingin melihatmu saja tanpa
bertanya apa dan bagaimana, hanya menatapmu saja. Dan bila dirimu adalah senja maka aku ingin
berkata:
Sudah
lama aku menunggumu.
Menantimu
pendarkan cahaya jingga di sela pesonanya langit biru.
Pada
cahaya jinggamu yang selalu merona,
tersenyum
semerbak sejukkan mata dan tebarkan benih-benih cinta.
Walau
singkat, walau sesaat,
takkan
aku berkedip menatap gejolak indahnya parasmu wahai cahaya jinggaku.
Dan
ketika mentari memaksamu pergi, kau turuti.
Ketika
langit mulai menyelimutimu dengan warna kelabu, bahkan menaburimu dengan warna
hitam pekat mencekam,
kurasa
duniaku kelam pasti kan gelap.
Tak
rela aku melepasmu pergi dalam sepi,
sejujurnya
aku ingin kau tetap disini.
Namun,
kau biarkan aku sendiri.
Dan
sungguh kini aku tak ingin beranjak pergi, aku tetap terpaku disini, menantikan
senja datang lagi
agar
dapat ku jumpa dirimu lagi wahai kau cahaya jingga pemilik hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar