RSS

Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

Sabtu, 07 November 2015

Jingga, Bolehkah Aku Jatuh Cinta?



Mata bundar itu tengah menyapu seluruh penjuru, pada cahya yang terbekas samar di sela mendung pagi itu, pada ikan yang menyambut kami riang, dan pada nelayan yang tengah beradu dengan perahu. Hingga tiba saat dimana mata itu kini lekat menatapku. Sorot mata yang indah, tatapannya sungguh tak mampu ku bendung.  Seketika aku tertunduk lalu  mengalihkan pandanganku pada seorang nelayan yang tengah sibuk menata jangkarnya.
            “Aku ingin naik perahu”, gumamku lirih.
            “Perahu?” tanyanya.
            Suara itu, suara yang amat ku rindu. Suara yang dulu biasa saja kini debarkan jantungku seketika. Suara yang amat ku hafal walau  teramat jarang ku dengar. Gadis  pemalu itu kini di hadapanku, gadis pemalu itu kini berbicara padaku dan seketika kini akulah yang lebih malu.
            “Iya”, jawabku singkat sembari ku raba dadaku menahan debaran jantungku yang semakin menjadi-jadi. Lalu aku berjalan beberapa langkah menjauh darinya, mencoba menata jarak untuk dapat bergerak.
            Dia mendekat lagi, aku takut. Takut jika jantungku makin berdegup kencang, bukan takut karena seketika jantungku tak akan mampu memompa darah mengalir ke seluruh tubuhku lagi, tapi aku takut jika debaran jantungku ini sungguh pertanda bahwa aku telah jatuh hati.
            “Ayo”, ajaknya.
            “Kemana?”
            “Keatas, pemandangan disana akan jauh lebih indah,” tunjukknya pada dermaga di bibir pantai tempat kami berada.
            Aku berjalan tepat di belakangnya, mengikuti jejak gadis berperawakan kecil dengan pipi bulat yang mengembang tiap kali ia tersenyum. Ia dulu membenciku dan akulah yang paling membencinya.
            “Naiklah,” katanya sambil menoleh padaku.
            “Tidak, kau saja”.
Kebohongan macam apa yang tengah ku ucapkan, sebanyak mulutku berkata tidak maka sebanyak itu pula hatiku berkata iya.
Iya, aku teramat ingin untuk menatap alam dengannya, bersama bercerita tentang apa kabar dan bagaimana hidupnya sekarang.
            “Bagaimana jika berdua?” tanyanya lagi,
            “Tidak, aku ingin disini saja”.
Lagi-lagi aku berbohong, mulutku lagi-lagi berkata tidak tapi hatiku teramat ingin berkata iya.
 Iya, bagaimana mungkin aku tak ingin berdua denganmu, duduk berdua bercengkrama bercerita tentang desa dan kampung halaman kita.
            “Sebentar saja, kali ini saja, besok tak lagi”. Jawabnya.
            Ucapannnya itu kini buat hatiku sesak dan aku mulai menaiki anak tangga satu persatu dengan ragu, kata-kata yang ia lontarkan bak tsunami yang meluluh lantahkan keramaian pantai. Sesak, teramat sesak aku mendengarnya. Besok tak lagi? Apakah itu pertanda ia akan membuatku merindu dirinya lagi? Iya, aku rasa iya.
            “Indah bukan?” tanyanya dan ku balas anggukan.
            Hening, hanya hati kita yang mungkin mencoba bersua. Tatapan kita memang tak bertemu, tapi kita menatap pada hal yang sama. Pada alam yang kini seolah tengah dendangkan lagu cinta lewat kicau burung dan ditambah rintikan hujan timbulkan riak air membuat suasana makin syahdu.
             “Besok berangkat jam berapa?”, tanyaku.
            “Pagi, ba’da Subuh, aku berangkat,”
            “ Oooh” Jawabku singkat.
            “Duduklah disini,” katanya sembari tangan kecilnya menepuk-menepuk debuk yang tertempel dengan sesekali mulutnya meniup debu yang masih tersisa.
            “Ayolah!” Ajaknya dengan senyum sumringah yang mengembangkan pipi bulatnya.
            Aku ragu lagi, langkahku melambat hingga akhirnya aku berhenti dan melangkah pelan menuju dirinya hingga kudapati diriku kini tengah duduk tepat disampingnya. Ia lekat menatap alam.
            “Langit dan bumi yang begitu jauh dipersatukan oleh garis cakrawala, horizon itu menjadi titik temu. Bagaimana dengan kita?”
            “Apa? kau bilang apa?” Tanyaku heran.
            “Tak ada, lupakan!” Jawabnya.
            Suasanan hening lagi dan kini aku memandangnya yang tengah menikmati pemandangan di depannya dan seketika ia menoleh ke arah ku hingga mata kami lekat saling tatap.
            “Pulang?” Tanyanya.
            “Iya,” Jawabku sambil mengangguk. Entah kebohongan yang keberapa. Aku ingin menaiki perahu bersamanya, mengayuh bersama, melihat senyumnya lebih lama, dan aku teramat ingin berlama-lama dengannya disini. Tak apa jika menanti siang saat sang surya tengah bersemangat pancarkan sinarnya pun aku rela, tak apa bila harus menunggu senja dengan semburat jingganya. Tak bisakah kita duduk lebih lama?
            Pada akhirnya kami berjalan pulang menuju rumah kami, melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang kami tempuh sebelumnya, menyusuri jalan yang teramat asing kurasa. Entah kemana jalan ini akan membawa kami pergi. Tak apa, aku menikmati perjalanan denganya, dia dan aku saja berjalan sembari mendorong sepeda kami masing-masing. Momen yang akan kurindu karena besok mungkin tak lagi.
           
            Wajahnya tak bisa menghantarkan ku untuk tidur lelap. Hiruk pikuk malam terus bersua. Lolongan anjing dalam sepi, menangis. Suara jangkrik berderik, meringis dan mata ku coba pejam, tahan tangis. Baru tadi pagi berlabuh rinduku, esok kan sepi lagi. Baru tadi pagi kita duduk bersama, esok tak lagi. Sendiri, merindu lagi.
           
            Esok ia kan pergi, katanya ia petarung ilmu. Ia ingin menatang para pengibas buku, bertemu saintis muda yang haus akan ilmu, dan berjumpa para kritikus muda berbalut almamater yang sama dengannya. Sosok ambisius gadis berbadan kecil itu sempurna membuat pikiranku tak bergeming dari dirinya.
            Padamu, bolehkah aku jatuh cinta?



            Subuh begitu cepat menyapa dengan iringan para pengkumandang azan memanggil jiwa-jiwa yang merindu dan dirindukan Rabb-Nya.
Kini tiba saatnya giliranku yang mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa lagi, iya, kata-kata ini yang ingin ku katakan nanti. Namun, apadaya ketika ia dihadapanku dengan tangannya menjulur dihadapanku, aku mendadak bisu. Sungguh tak ada satupun kata-kata yang terlontar dariku. Ku jabat tangannya sembari mata kami beradu. Kini tanganku ia genggam dengan kedua tanganya sembari menyebut namaku, hanya itu. lalu ia pergi, berlalu, berlari. Sungguh aku ingin berkata aku tak ingin dia pergi tapi sekejap ia sudah tak tampak di pandanganku lagi.
            Sepeda ku kayuh kembali menuju bibir pantai, ingin mentap senja yang selalu tampilkan gradasi warna yang sempurna, aku selalu menati senja, entah mengapa aku begitu suka pada semburat jingga. Andai saja dia mau duduk denganku lebih lama  menanti senja,. Ah, salahku yang tak memintanya.
Setengah jam berlalu dan aku sampai pada tempat dimana aku berdiri berdua dengannya kemarin pagi, lekat kenangan itu masih kuingat. Cara ia menatap langit, caranya menatap alam dan matanya kala tatapan kami bertemu serta pada suaranya yang kini tak lagi kudengar. Dialog kami waktu itu begitu ku hafal, aku seperti memutar video dengan aku dan dia sebagai pemerannya.

Sang surya mulai lelah, ia tampak penat tak bergairah, mungkin inilah saatnya  ia berleha-leha pada singgasana istana jagad raya.
 Perahu-perahu tampak berjejer di tepi dermaga dan bila hatiku ini adalah perahu maka hanya padamu jua rinduku kan berlabuh. Nanti, bila kita berjumpa, jumpa kita aku hanya ingin melihatmu saja tanpa bertanya apa dan bagaimana, hanya menatapmu saja. Dan bila dirimu adalah senja maka aku ingin berkata:
Sudah lama aku menunggumu.
Menantimu pendarkan cahaya jingga di sela pesonanya langit biru.
Pada cahaya jinggamu yang selalu merona,
tersenyum semerbak sejukkan mata dan tebarkan benih-benih cinta.
Walau singkat, walau sesaat,
takkan aku berkedip menatap gejolak indahnya parasmu wahai cahaya jinggaku.

Dan ketika mentari memaksamu pergi, kau turuti.
Ketika langit mulai menyelimutimu dengan warna kelabu, bahkan menaburimu dengan warna hitam pekat mencekam,
kurasa duniaku kelam pasti kan gelap.
Tak rela aku melepasmu pergi dalam sepi,
sejujurnya aku ingin kau tetap disini.
Namun, kau biarkan aku sendiri.
Dan sungguh kini aku tak ingin beranjak pergi, aku tetap terpaku disini, menantikan senja datang lagi
agar dapat ku jumpa dirimu lagi wahai kau cahaya jingga pemilik hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar